Tampilkan postingan dengan label Travel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Travel. Tampilkan semua postingan

Jumat, 20 Maret 2015

Leipziger Messe, Tempat Leipzig Book Fair Digelar



         Hebohnya Leipzig Book Fair! Memang selalu heboh tiap tahun, sih. 
         Ya, di Leipzig, Jerman, baru saja digelar event tahunan Leipziger Buchmesse (Leipzig Book Fair), yang berlangsung dari tanggal 12-15 Maret 2015. Seperti tahun-tahun sebelumnya, LBF selalu diadakan di tempat yang spektakuler: Leipziger Messe/Leipziger Messegelände atau Leipzig Exhibition Centre. Saya dan orang-orang di Leipzig biasa menyebut tempat ini “Neue Messe” atau “Messe” saja. Bangunannya unik, berbentuk seperti “bolu gulung” (benar, saya suka bolgul, hehehe) yang terbuat dari kaca transparan dan ditopang oleh rangka baja yang kokoh, berukuran panjang 243 m, lebar 80 m, dan tinggi 30 m. 

Leipziger Messe


        
Leipziger Messe
         Leipzig Exhibition Centre memiliki 5 ruang pameran, 111.300 meter persegi ruang pameran tertutup dan 70.000 meter persegi di luar ruangan. Wow, luas banget, kan? Bisa menampung belasan ribu pengunjung, dua ribu peserta, dan ditambah orang sekampung saya! Peserta dan pengunjungnya datang dari berbagai negara, loh! Dan, tahun ini Indonesia juga ikut meramaikan salah satu event favorit para Leipziger ini. Huaaa …, jadi pengen mengulang kisah lama ….
         Ada dua kolam yang sangat luas di depan bangunan berdesain modern ini yang dipisahkan oleh jalan terusan yang tidak terlalu lebar. Kolamnya nggak dalam, sih, jadi singkirkan saja niatan buat mancing. Seru juga berjalan di sini, bak menyusuri Laut Merah yang sedang terbelah. *halah* Dari situ kita bisa melihat jelas Messeturm (menara Neue Messe) yang katanya, sih, setinggi 85 meter. Sebaiknya kita percaya saja. Oh ya, kalau cahaya mataharinya pas, pantulan bayangan “bolgul” di permukaan air kolam tersebut memberikan efek yang cakep, deh. Ini kurang maksimal foto-fotonya karena rada burem gitu langitnya. Foto yang cakep cari di Google aja, gih, hahaha.

Kolam terbelah ^^

        
Messeturm. (Abaikan saja perut ibu hamil itu, ya) :D
       
       Nah, di depan gedung juga ada empat patung singa dengan berbagai warna dan motif, berdiri ramah menyambut pengunjung Messe. Ini kesukaan anak-anak kecil dan para turis yang kadang bertingkah seperti anak kecil, hehe. Kenapa ada patung singa segala? Karena, singa itu adalah ikon Kota Leipzig. Jadi, patung-patung singa memang biasa menghiasi tempat-tempat keramaian di Leipzig.  


Patung-patung singa yang lutjuuu
Seandainya kereta dorong itu disingkirkan .... ^-^

        Untuk menuju Messe, saya biasa menggunakan Straßenbahn (kereta listrik). Perjalanannya sekitar dua puluh menit dari stasiun kereta utama Hauptbahnhof Promenaden di Stadtzentrum (pusat kota) menuju halte Messegelände. Dari situ, sedikit berjalan kaki menuju tempat pameran. Jangan malas! Selain dengan Straßenbahn, Messe juga bisa dicapai dengan bus, S-Bahn (MDV), atau Regionalbahn (RB).

Haltenya yang ini, ya! Messegelände. Awas nyasar.

         Orang Jerman terkenal sangat menghargai waktu. Pokoknya harus teng! Bahkan, dulu kalau suami saya janjian ketemu profesornya, lima menit sebelum jam janjiannya dia udah berdiri di depan pintu sambil ngitungin detik jarum jam, dan begitu jamnya tepat teng, langsung ketuk pintu. Kalo datang sebelum atau sesudah jam janjian, profesornya nggak mau melayani. Hadeuh! Nah, orang Jerman sering memanfaatkan waktu luang—walaupun sedikit—dengan membaca buku. Orang yang membaca buku dalam kereta atau bus umum sudah menjadi pemandangan biasa. Tak heran jika pameran buku sebesar LBF membeludak pengunjungnya, ya. Whoaaa ..., pengeen ..., pengen!
        Oh ya, foto-foto ini diambil bukan pas acara Leipzig Book Fair, melainkan pas bawa jalan-jalan temen yang kebetulan berkunjung ke Leipzig tahun 2004 (11 tahun yang lalu!) demi melihat Leipziger Messe walaupun nggak ada event apa-apa. Segitu penasarannya ... ck ck ck ....
        At least, selamat, deh, buat para penulis Indonesia yang tahun ini buku-bukunya bisa mejeng di sana. Tahun kemarin, buku saya The Siblings: Hilangnya Duplikat Pedang Nabi juga sempat mejeng di Frankfurt Book Fair. Berasa gimanaaa gitu .... [be]

Senin, 28 April 2014

Taman Putroe Phang dan Gunongan; Tempat Bermain si Putri Pahang



           Hari Minggu. Hm ... mau ajak anak-anak jalan-jalan ke mana, ya? Rasanya bosan kalau ke tempat yang itu-itu saja. Akhirnya saya punya ide, "Bagaimana kalau kita pergi ke objek wisata yang bersejarah?" tanya saya pada anak-anak. 
           Ternyata anak-anak tidak begitu bersemangat dan menolak pergi, tapi saya terus menyemangati. Masa, sih, tinggal di Banda Aceh tapi tidak pernah mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang ada di Banda Aceh? Kalau ada turis yang bertanya, bagaimana nanti kami bisa memberikan keterangan yang memadai? Terlebih, anak-anak saya belum terlalu lama tinggal di Banda Aceh karena dulu menetap di luar negeri. Jadi, mereka memang belum banyak mengunjungi tempat-tempat menarik di kota ini.
       Maka, hari itu, saya mengajak suami dan anak-anak berjalan-jalan ke beberapa objek wisata bersejarah di Banda Aceh, termasuk Taman Putroe Phang dan Taman Sari Gunongan. Tak lupa, saya meminta anak-anak membawa alat tulisnya untuk mencatat apa-apa yang menarik di lokasi wisata tersebut.
        “Kita sedang menjadi Dora the explorer!” seru saya bersemangat. Tapi, anak-anak malah memandang saya dengan ekspresi datar. Ah, sudahlah! Let's go!
        Kami pergi dengan menggunakan kendaraan pribadi agar perjalanan menjadi lebih mudah. Taman Putroe Phang terletak di Jalan Nyak Adam Kamil, tidak begitu jauh dari Masjid Raya Baiturrahman—masjid yang menjadi landmark kota Banda Aceh—sehingga tidak sulit menemukan lokasi wisata menarik ini. Selain dengan kendaraan pribadi, tentu saja taman ini bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan umum, orang Banda Aceh biasa menyebutnya “labi-labi”. Dari tempat mangkal labi-labi di daerah Merduati, ongkosnya sekitar Rp3.000,00. Atau, bisa juga dengan menumpang becak motor. Ongkosnya tergantung jarak yang ditempuh, biasanya sekitar Rp3.000,00/km. Ya, setidaknya itu berdasarkan stiker tarif yang sering saya lihat di belakang becak motor. Tapi, sepertinya masih bisa nego, sih!   

Pintu Masuk Taman Putroe Phang

            Menjelang siang dan perut mulai keroncongan, kami tiba di Taman Putroe Phang. Dari luar, taman ini tampak sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat di sekitar lokasi—para satpam dan penjual jajanan. Lho, pengunjungnya cuma kami? Entahlah, mungkin di dalam taman ada pengunjung lain. Setelah memarkir mobil di bawah kerindangan pepohonan besar, kami langsung masuk ke dalam taman. 
Taman Putroe Phang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) pada abad ke-16. Menurut riwayat, taman ini merupakan ungkapan rasa cinta sang Sultan pada istrinya yang berasal dari Kerajaan Pahang, Malaysia. Wow, romantis, ya? Seperti kisah Taj Mahal di India saja!  
Putroe Phang (bahasa Aceh) sendiri jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti “Putri Pahang”. Konon, Putroe Phang sering merasa sedih dan gundah karena rindu pada kampung halamannya di Pahang. Oleh karena itu, untuk menghibur sang Permaisuri, Sultan Iskandar Muda mempersembahkan taman ini agar Putroe Phang dapat bermain dengan dayang-dayang dan melupakan kegundahannya.

Taman Putroe Phang yang cantik.

Begitu kami memasuki taman, tampak bangunan kecil berbentuk seperti kubah berdiri di tengah-tengah taman yang dikelilingi kolam. Rupanya, itu adalah Pintoe Khop. Pintoe Khop yang berukuran 2x3x3 meter ini dulunya merupakan pintu gerbang yang menghubungkan istana dengan Taman Sari Gunongan (dulu bernama Taman Ghairah). Pintoe Khop ini disebut juga Pintu Biram Indrabangsa yang artinya “pintu mutiara keindraan atau raja-raja”. Kini Pintoe Khop terlihat unik, seperti bangunan kecil berwarna putih yang “berdiri sendirian” di dalam taman, ditambah lagi ia telah dipagari demi menjaganya dari tangan-tangan jail. Ungkapan lebih gamblangnya lagi, ya tinggal pintu doang

Pintoe Khop

Pintoe Khop dari dekat
Catatan Sejarah Pintoe Khop

            Saya sengaja menyiapkan bekal makan siang dari rumah agar kami bisa sekalian piknik. Ya, untuk menghemat juga, sih. Kami pun mencari-cari tempat yang paling strategis agar dapat berpiknik dengan nyaman. Tampak tempat duduk bertingkat dari beton berbentuk setengah lingkaran yang di depannya ada semacam selasar yang dilindungi kanopi. Tempat itu biasa digunakan jika ada acara-acara yang berlangsung di Taman Putroe Phang. Tapi, kami tidak ingin duduk di sini, kami mencari tempat duduk yang lebih masuk lagi ke dalam taman agar bisa melihat pemandangan dengan lebih leluasa.

Tempat duduk yang teduh
 
Berpayung kanopi.
            
            Kami lalu melewati sebuah jembatan gantung bercat putih untuk menyeberangi kolam pemandian sang Permaisuri. Jembatan itu tampak kokoh dan cantik, serta tidak terlalu bergoyang saat ditapaki. Anak-anak malah senang mondar-mandir di jembatan ini. Sensasi berjalan sambil digoyang-goyang rupanya sangat menarik buat anak-anak. Kalau saya, sih, pusing!  

Jembatan Gantung

Tak jauh dari ujung jembatan, di bawah tempat duduk berpayung yang terbuat dari besi yang dicat putih, kami pun menikmati santap siang sambil melihat-lihat keindahan taman. Menu nasi putih dengan daging rendang terasa nikmat meskipun tanpa sayur. Saat itu, taman masih sepi. Hanya ada tiga orang remaja yang sedang duduk-duduk santai di bangku taman. Apa karena ini masih siang? Setahu saya, keadaan akan berbeda bila sore hari. Saya sering melihat taman di tengah kota ini penuh dengan keluarga yang membawa anak-anaknya bermain di arena playground yang tersedia, terutama pada hari libur. Fasilitas playground-nya lumayan mengasyikkan buat anak-anak yang berusia di bawah dua belas tahun. Atau, mungkin masih kurang promosi, ya, sehingga wisatawan belum begitu tertarik untuk mendatangi Taman Putroe Phang ini.

Kursi taman

Playground

Usai menghabiskan makanan, saya membiarkan anak-anak bermain sebentar di playground, sementara saya duduk sambil memperhatikan sekitar. Hhh ... sungguh tenang rasanya berada di taman ini. Taman Putroe Phang yang luas tampak asri dengan pepohonan yang tumbuh teratur dan rapi. Imajinasi langsung mengantarkan saya ke zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Seolah-olah saya sedang berada di sini bersama Putroe Phang yang bersenda gurau dengan dayang-dayangnya, mandi bunga di kolam, atau sekadar melepas lelah. Seorang putri cantik menawan berlarian di sebuah taman nan indah ... hm ... sungguh pemandangan yang memesona. Mungkin saat itu taman ini jauh lebih indah dengan berbagai macam bunga yang menghiasinya, yang sayangnya tak lagi saya temukan saat ini. Saya tersenyum membayangkannya. Ah, ngayal! Yang jelas, taman istimewa ini masih memerlukan beragam bunga aneka warna untuk menambah keindahan dan kecantikannya. Kalau yang sekarang saya lihat, di mana-mana hanya didominasi warna hijau. Adem, sih, tapi kurang cetar membahana! 

Pepohonan yang berjajar rapi
Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ceritanya hingga seorang putri dari Kerajaan Pahang, Malaysia, bisa menjadi permaisuri seorang Sultan Aceh? Kenalannya di mana? Aceh dan Malaysia, kan, jauh untuk ukuran transportasi zaman dahulu. Apalagi dulu belum ada media sosial, hehehe.
Ternyata, dulu tentara Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kerajaan Pahang di Semenanjung Utara Melayu. Sebagaimana kerajaan yang kalah perang, maka Kerajaan Pahang harus menyerahkan harta rampasan perang, upeti, dan pajak tahunan kepada Sultan Iskandar Muda. Dan, sebagai tanda takluk, Kerajaan Pahang juga harus merelakan Putri Pahang dibawa oleh Sultan Aceh tersebut.  
Kiranya, Putri Pahang nan cantik jelita dan berbudi bahasa sangat halus itu membuat sang Sultan terpikat. Akhirnya, Sultan pun memperistri Putri Pahang dan menjadikannya sebagai permaisuri. Pada masa itu, pernikahan antara seorang raja dengan putri kerajaan yang ditaklukkannya memang sudah biasa terjadi. Karena, hal itu dapat memperkuat kedudukan kerajaan yang menang, selain untuk mempererat persaudaraan.
Terletak di Negeri Syariat, Taman Putroe Phang juga dilengkapi dengan musala kecil, beserta toilet di dekatnya untuk memudahkan pengunjung mengambil air wudu. Taman ini terlihat sangat bersih, tampak banyak sekali tempat sampah yang tersebar di sana. Bahkan tong sampahnya dipisah antara untuk sampah basah dan untuk sampah kering. Wah, komplet, deh! Semakin betah berlama-lama bersantai di sini.

Musala

Toilet

Setelah anak-anak puas bermain, saya mengajak mereka ke Taman Sari Gunongan (dulu bernama Taman Ghairah) yang letaknya bersebelahan dengan Taman Putroe Phang. Asyik juga, nih, lokasi wisatanya berdekatan, jadi tidak terlalu capek mencapainya. Malah, di depan Taman Sari Gunongan juga ada objek wisata Kherkoff, makam tentara-tentara Belanda yang wafat dalam pertempuran di Aceh dulu.

Papan Petunjuk Taman Sari Gunongan

Ketika kami masuk ke lokasi Gunongan, suasana juga tampak sepi. Cuma ada tiga orang remaja putri yang terlihat sedang asyik berfoto-foto. Hei, ke mana orang-orang lainnya? Sepi-sepi saja! Padahal, bangunan Gunongan ini tampak cantik dan menyimpan sejarah yang menarik, lho. Ternyata, program Visit Aceh 2013 yang lalu masih belum bergigi untuk mendongkrak minat wisatawan berkunjung ke sini, ya. Woro-woro-nya harus digencarkan lagi, dong!
Rupanya Gunongan dulu merupakan bagian dari Taman Putroe Phang, tetapi sekarang sudah terpisah oleh jalan raya sehingga tampak seperti dua objek wisata yang berbeda. Oh ... pantaslah! Dengar-dengar, dulu ada lorong di bawah tanah bangunan Gunongan yang menuju ke Pintoe Khop, tetapi kini sudah ditimbun seiring dengan pembangunan daerah ini.

Gunongan
   
Gunongan berarti “gunung kecil” dan merupakan miniatur perbukitan yang mengelilingi kerajaan Putroe Phang di Pahang. Sengaja dibangun sedemikian rupa agar Putroe Phang tidak selalu bersedih karena teringat Kerajaan Pahang. Jadi, seolah-olah Putroe Phang sedang berada di negerinya sendiri, begitu. 
Gunongan berbentuk persegi enam seperti bunga dan puncaknya dibentuk seperti mahkota. Di salah satu sisi Gunongan ini, ada sebuah pintu kecil yang ditutup semacam pintu pagar yang terbuat dari besi dan dicat warna perak. Sayang sekali, pintu itu digembok, sehingga saya tidak bisa masuk. Namun, saya sempat mengintip ke dalamnya. Ternyata itu sebuah lorong! Menurut keterangan yang saya baca di sana, di dalam lorong pintu tersebut, ada sebuah tangga untuk naik ke tingkat tiga bangunan Gunongan. Yah ... nggak bisa naik, deh!

Pintu masuk ke dalam Gunongan
 
Ini lorongnya.
Hari-hari sang Permaisuri banyak dihabiskan di sekitar Gunongan. Bersama dayang-dayangnya, dia senang memanjati bangunan Gunongan ini. Saya juga sempat melihat sebuah foto yang mengabadikan beberapa tentara KNIL (tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang duduk di atas Gunongan pada tahun 1874. Ternyata, sejak dahulu, Gunongan telah menjadi objek yang menarik dan cocok menjadi tempat untuk berfoto, ya! 

Foto tentara KNIL sedang duduk di atas Gunongan

Selain sebagai tempat bercengkerama, Gunongan juga dijadikan sebagai tempat Putroe Phang berganti pakaian dan mengeringkan rambut usai berenang di kolam pemandian. Di dekatnya ada sebuah bangunan kecil dan pendek berukir. Ada lubang di bagian atasnya. Bentuknya mirip lesung tempat menumbuk padi dan ada undakan untuk naik ke atas. Tadinya saya pikir itu apa ... kok aneh? Ternyata itu adalah Leusong, bagian dari Gunongan juga. Saat saya lihat, Leusong itu berisi air. Mungkin itu air hujan yang tertampung.

Leusong

Di samping Gunongan, ada sebuah bangunan yang dinamakan Kandang. Bentuknya persegi empat. Ada sebuah pintu masuk seperti pintu pagar besi yang lebih besar daripada pintu masuk ke Gunongan. Namun, lagi-lagi karena dikunci, saya hanya bisa melihat dari luar. Bagian dalam Kandang terlihat seperti taman berumput. Aduh, ini kenapa pada dikunci semua? Padahal saya, kan, turis juga ... walaupun domestik.

Kandang di sebelah Gunongan

Dulu, Kandang merupakan tempat jamuan makan Sultan Iskandar Muda dan Putroe Phang bersama orang-orang istana, juga rakyat. Katanya, sih, dulu Kandang ini ada atapnya. Berarti, Sultan Iskandar Muda itu rendah hati sekali, ya, sampai-sampai beliau berkenan menjamu rakyatnya di Taman Ghairah ini? Mengagumkan! Raja yang sangat merakyat. Patut dicontoh oleh para pemimpin di negeri ini, khususnya di Aceh.
Beberapa waktu kemudian, Kandang dijadikan sebagai makam Sultan Iskandar Thani, menantu Sultan Iskandar Muda, yang memerintah tahun 1636-1642. Sultan Iskandar Thani ini merupakan anak Sultan Pahang, Malaysia, dan Sultanah Safiatuddin Tajul Alam. 

Pintu masuk ke Kandang

Menelusuri sejarah Taman Putroe Phang dan Taman Sari Gunongan sungguh menyenangkan. Kisah sebuah kerajaan dengan seorang permaisuri cantik dan raja tampan memang selalu memiliki daya tarik bagi siapa saja. Bak cerita dalam dongeng, tapi romantisme Sultan Iskandar Muda dengan Putroe Phang ini kisah nyata. Sejarah, lho! Anak-anak saya yang tadinya tidak begitu berminat mengunjungi objek wisata ini, belakangan malah meminta saya untuk lebih lama lagi berada di tempat ini. Mereka sibuk membaca keterangan-keterangan tentang Gunongan yang terdapat di sana sambil mencatat apa-apa yang menarik.
"Sebentar, Ma! Saya belum siap mencatat!" seru anak sulung saya ketika diajak pulang.

Catatan Sejarah Gunongan

Yang saya sayangkan, pintu masuk ke bangunan Gunongan dan Kandang terkunci, sehingga wisata kami ke sini menjadi tak lengkap dan tak tuntas. Alangkah baiknya jika tempat wisata ini selalu dalam keadaan “siap dikunjungi” selama waktu kunjungan agar pengunjung yang sudah jauh-jauh datang ke sini tidak kecewa. Kalau saya, yang memang tinggal di Banda Aceh, masih bisalah di lain kesempatan berkunjung lagi sampai berkali-kali demi memuaskan keingintahuan saya tentang apa yang ada di balik pintu-pintu yang terkunci itu. Tapi, kalau turis asing atau turis dari luar daerah? Belum tentu mereka punya kesempatan datang ke sini lagi. Sayang, kan?  
Setelah anak-anak puas, kami pun meninggalkan Taman Sari Gunongan. Saya tersenyum penuh kemenangan ketika anak sulung saya yang tadinya ogah-ogahan pergi ke sini berkata, “Ternyata, sejarah Aceh itu menarik sekali, ya, Ma. Saya kira cuma begitu-begitu saja.”
Memanglah, Nak, tak kenal maka tak sayang. Kenali tanah kelahiranmu agar cinta pada negeri ini bertumbuh di hatimu ....[]

Jumat, 05 Juli 2013

Jangan Khawatir Mengunjungi Schloss Sans Souci!

Ya. Schloss Sans Souci memang berarti istana tanpa kekhawatiran. Schloss (bahasa Jerman) berarti istana, sedangkan sans souci (bahasa Prancis) berarti tanpa kekhawatiran. Raja Friedrich II, raja Prusia yang membangun istana ini pada tahun 1744, memang menjadikan Schloss Sans Souci sebagai tempat berstirahat di musim panas, terlepas dari beratnya tugas-tugas kenegaraan. Istana cantik ini terletak di kota Potsdam, negara bagian Brandenburg, Jerman.
13730022791338611691
Schloss Sans Souci
1373003635653052167
Suatu hari di pengujung musim panas, usai melakukan perpanjangan paspor di Berlin, saya dan keluarga menyempatkan diri mengunjungi kota Potsdam, sebuah kota bersejarah yang ditetapkan sebagai salah satu situs kebudayaan dunia oleh UNESCO. Jarak antara Berlin dengan Potsdam memang tidak terlalu jauh, sekitar 30 kilometer dan hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit dengan kereta.
Dari stasiun kereta, bisa dilanjutkan dengan bus. Tidak jauh, kok. Jangan khawatir! :D
1373003706548156968
13730024931685909397
Gerbang depan istana, tapi masuknya bukan dari sini
Saat itu cuaca sudah mulai dingin karena musim gugur mulai menyapa, ditambah hujan rintik-rintik yang terus membasahi, membuat kami harus merapatkan jaket dan tak melepas topi. Kami duduk menunggu di teras istana hingga hujan agak reda sambil menikmati pemandangan di sekitarnya.
137300294266569662
Menunggu hujan
137300375251562484
Terlihat banyak orang berpayung yang sedang mengantre untuk masuk ke dalam bangunan istana. Kami sendiri tak berniat masuk ke dalam istana karena harga tiketnya yang cukup mahal, sekitar 17 Euro per orang. Terlebih, paling-paling seperti peraturan di istana-istana lain yang pernah kami kunjungi, kemungkinan besar pengunjung dilarang untuk memotret. Padahal yang perlu, kan fotonya, hehehe.
13730029952091159625
Antrean masuk ke istana
1373003214797648999
Bangunan Schloss Sans Souci inikalau dilihat-lihatmirip dengan Schloss Schoenbrunn di Austria yang sama-sama berwarna kuning cerah, namun berukuran lebih kecil. Bagian tengah Schloss Sans Souci berbentuk bundar dengan kubah berwarna hijau. Sayap Timur merupakan istana raja, sedangkan sayap Barat adalah ruangan untuk tamu. Sama seperti Schloss Schoenbrunn, Schloss Sans Souci juga disebut-sebut sebagai saingan Istana Versailles, Prancis. Tapi, sepertinya kecantikan dan kemegahan Istana Versailles cuma bisa ditandingi oleh Istana Schoenbrunn.
1373003261786694336
Taman istana
13730034872055909685
Itu pohon anggurnya
Yang menarik dari Schloss Sans Souci adalah taman dan kebunnya yang sangat luas dan dibuat bertingkat-tingkat sehingga kami harus melewati banyak tangga untuk pergi ke sana. Kolam besar dengan air mancur di tengahnya melengkapi keindahan taman ini. Sementara itu, pohon anggur dibiarkan merambat di sisi tangga, di pagar, maupun di dinding gazebo taman. Wow, kalau pohon anggurnya berbuah, tinggal petik, dong!
13730033901324468973
Gazebo taman
13730034361144620113
Setelah puas melihat-lihat istana dan taman, kami bergerak menuju Historische Windmuehle atau Historic Windmill of Sans Souci, kincir angin bersejarah yang masih berada di lingkungan istana. Kincir angin ini dibangun dengan gaya Belanda pada tahun 1738, beberapa tahun lebih dahulu dibandingkan Schloss Sans Souci sendiri. Sempat hancur terkena bom dalam Perang Dunia II, kincir ini kemudian direnovasi kembali setelah telantar bertahun-tahun. Kini, Historische Windmuehle menjadi museum dan terbuka untuk pengunjung, di mana pengunjung dapat melihat dari dekat bagaimana kincir tua ini bekerja.
1373003557426808987
Historic Windmill
1373003938541424814
Ada odong-odong buat keliling
Cukuplah beberapa jepretan untuk mengabadikan keberadaan kami di sekitar kincir angin tua tersebut. Kiranya waktu serta cuaca dingin dan basah sudah tak memungkinkan kami untuk berlama-lama di luar lagi, terlebih karena kami membawa anak-anak. Kalau soal ini, boleh, deh, sedikit khawatir masuk angin. :D Kami pun memutuskan segera kembali ke Berlin untuk kemudian pulang ke Leipzig.[Be]

(Tulisan ini menjadi headline www.kompasiana.com tanggal 5 Juli 2013).

Menyusuri Kota Tua di Salzburg, Austria

Beberapa tahun lalu, sepulang berlibur di kota Wina, ibu kota Austria, saya dan keluarga menyempatkan mampir di kota Salzburg. Kami naik kereta pagi dari Wina dan tiba di Salzburg sekitar pukul sepuluh. Rencananya, kami akan menghabiskan waktu beberapa jam untuk melihat-lihat suasana di Altstadt, kota tua yang penuh sejarah dan dipertahankan keasliannya sebagai salah satu situs kebudayaan dunia yang ditetapkan oleh UNESCO, sebelum kembali ke Leipzig, Jerman. Salzburg sendiri merupakan kota terbesar keempat di Austria yang terletak di bagian Utara Pegunungan Alpen dan dikelilingi oleh dua gunung kecil, Monchsberg dan Kapuzinerberg.
13727409961923904504
Suasana kota Salzburg
Nama Salzburg yang berarti kota garam berkaitan dengan kejayaan garam di masa lampau. Ya, tanpa garam, tentu tak enak makan! Sehingga para pekerja di Salzburg tak keberatan dibayar dengan garam. Selain itu, Salzburg juga dikenal sebagai kota kelahiran komponis musik klasik terkenal, Wolfgang Amadeus Mozart, yang telah menciptakan karya-karya musik jenius dan tetap abadi sampai sekarang.
1372741167382773461
Sungai Salzach
Setelah sampai di stasiun kereta Salzburg, perjalanan dilanjutkan dengan bus. Tak lama, hanya beberapa halte. Sungai Salzbach yang bersih langsung menyambut kami begitu turun dari bus. Kami berjalan kaki menyusuri jembatan menuju jalan Getreidegasse di Altstadt. Suasana klasik dan tenang langsung terasa. Gedung-gedung tua dengan arsitektur Baroque masih berdiri megah dan terawat baik, seolah waktu tak mampu menghapus jejaknya. Penjual suvenir, makanan, dan pemain musik jalanan tampak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
1372742589649788408
Altstadt dari jembatan
13727414041400670004
Penjual pretzel, yang manis pakai gula tabur, yang asin pakai biji wijen.
Pemandangan anak-anak muda yang membawa alat musik dalam kotaknya terasa lazim di kota ini, terutama di seputaran Haus fr Mozart, tempat diadakannya event-event musik rutin. Saya langsung teringat pada masa remaja saya dulu yang juga kerap membawa-bawa alat musik karena saya aktif di drum band. Jadi pengen!
13727416181167851708
House for Mozart
121374b031aa1a6031fd31499b2f930c_dinding
Salah satu keunikan Altstadt adalah adanya lorong-lorong kuno yang diisi dengan berbagai toko sehingga suasananya mirip berbelanja di dalam gua. Tapi, saya kok merasa suasananya suram dan seram, ya? Jadinya malah tidak berselera untuk berbelanja. :D
13727417421607991580
Jalan menuju Kapuzinerberg
137274272788955968
Siapa mau main catur raksasa ini?
Dari Altstadt ini, kita juga dapat melihat Festung Hohensalzburg, sebuah benteng terbesar di Eropa Tengah yang dibangun pada tahun 1077 dan masih utuh berdiri di atas puncak bukit sampai sekarang. Kami tak masuk ke sana mengingat waktu yang tak memungkinkan karena kami harus mengejar kereta sore menuju Mnchen (Munich), Jerman, untuk mengunjungi seorang teman.
1372741887788093496
Festunghohensalzburg dari bawah
Universitas Salzburg
Universitas Salzburg
Kami langsung berjalan lagi menuju Residence Gallery. Di perjalanan, kami menemukan sebuah patung unik sekaligus menyeramkan, karena bentuknya seperti hantu di film Scream, tetapi wajahnya tidak ada alias bolong.
13727420721303512776
Patung seram
Ternyata, kami sudah berada di dekat Salzburger Domgrabungen Museum atau biasa disebut Domgrabungsmuseum, sebuah museum penggalian arkeologi yang terletak di bawah tanah Dom dan Residenplatz Square. Museum ini merupakan semacam pengantar untuk mengetahui bagaimana keadaan sebuah kota khas Romawi di masa lalu.
13727421601919180501
Domgrabungsmuseum
Jenggot si Mbah
Jenggot si Mbah
Sampailah kami di Residence Gallery, yang berisi aneka lukisan Eropa dari abad 16 sampai abad 19. Kebanyakan lukisan di dalamnya merupakan koleksi lukisan Belanda, Italia, Perancis, dan Austria sendiri. Para pelukis jalanan terlihat mangkal di depan Residence Gallery untuk menawarkan jasa melukis diri wisatawan. Lukisannya bagus-bagus dan mirip orang aslinya. Sayang, antrenya cukup lama. Satu orang saja membutuhkan waktu yang lumayan. Bagi kami yang terburu-buru, tak mungkin dapat membawa pulang lukisan diri meskipun sangat ingin.
13727423101356098705
Residence Gallery
1372742898900760513
Residenzbrunnen
Akhirnya kami memutuskan segera kembali ke stasiun kereta setelah membeli beberapa suvenir sebagai kenang-kenangan. Meskipun tak semua tempat menarik di Salzburg sempat kami kunjungi, tak apalah, yang penting sudah melihat kota tua yang unik dan bersejarah ini. Mudah-mudahan kami bisa datang lagi suatu hari nanti.[Be]

(Tulisan ini menjadi headline www.kompasiana.com tanggal 2 Juli 2013)
3518c8168280c9be7781018903a7a693_hl-salzburg2juli