Tampilkan postingan dengan label Lomba Blog. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lomba Blog. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 November 2014

Facebook sebagai Sarana Penunjang Belajar Bahasa Jerman

            Barangkali guru yang paling repot kalau hendak mengajar adalah guru bahasa asing. Bagaimana tidak, jika guru-guru pelajaran lain mungkin bisa melenggang ke dalam kelas dengan modal satu atau dua buku sebagai bahan ajar, guru bahasa asing tidak demikian. Sebagai guru bahasa Jerman di SMA, saya kerap harus “pindahan” dari rumah ke kelas. Banyaknya bahan ajar yang saya bawa sudah pasti memaksa saya untuk membawa tas yang berukuran besar. Bermacam buku, kamus, berbagai materi penunjang seperti game, teks lagu, majalah, buku cerita, dan lain-lain kerap memenuhi tas saya.
Sudah cukup? Tentu saja tidak! Masih ada laptop, loud speaker, infocus, dan perangkat lain yang akan melengkapi. Kalau saya beruntung, pihak sekolah yang akan menyediakan loud speaker dan infocus. Tapi, kalau tidak, selain membawa laptop, saya harus membawa loud speaker sendiri—dan mungkin juga infocus kalau saya memilikinya. Itu sebabnya saya selalu membawa dua tas besar saat pergi mengajar.  

Suasana belajar bahasa Jerman di kelas

Mengapa saya sampai seribet itu mempersiapkan bahan ajar? Padahal, tidak semua guru bahasa asing mau bersusah-susah membawa banyak "amunisi" ke kelas. 

Belajar Lebih Mudah dan Menarik dengan TIK 
Bagi saya, keberhasilan siswa dalam memahami bahasa Jerman merupakan kesuksesan saya sebagai gurunya. Bila siswa gagal atau mengalami kesulitan yang tidak bisa diatasi, itu berarti saya tidak total dalam mengajar. Tingkat kemampuan dan daya serap siswa terhadap materi yang diberikan sangat bervariasi, untuk itu diperlukan berbagai materi dan sarana penunjang agar dapat mengakomodasi kebutuhan siswa dalam belajar. Dan, umumnya, siswa SMA merasa bahasa Jerman itu sangat sulit, sehingga mereka mudah bosan dan jenuh bila belajar terus-menerus dalam waktu yang relatif lama. Sehingga, penting untuk saya menyiapkan bermacam materi penunjang yang menyenangkan untuk mengembalikan semangat belajar siswa, seperti game, video/film sederhana, lagu, serta cerita yang kesemuanya tentu dalam bahasa Jerman. Saya sebisa mungkin menciptakan suasana belajar yang seru dan santai.

Siswa sedang memainkan game menyusun lirik lagu dalam bahasa Jerman yang sedang diputar

                            Siswa sedang menonton video Teletubbies dalam bahasa Jerman

Di zaman yang diserbu oleh teknologi serbacanggih sekarang ini, lagu, video/film, maupun cerita sangat mudah didapatkan melalui berbagai media informasi dan komunikasi seperti You Tube. Dengannya, materi teori bahasa Jerman di kelas dapat lebih mudah dipahami karena langsung diaplikasikan dalam bentuk visual. Itu sebabnya saya berusaha memanfaatkan teknologi ini dengan cara menghadirkannya ke kelas yang saya asuh. Video-video yang biasa saya pilih adalah yang sederhana dan mudah dipahami oleh siswa, seperti film anak-anak atau kartun. Namun, saya menghadapi kendala terkait peralatan yang tidak selalu disediakan oleh sekolah. Atau, kalaupun ada, kondisinya tidak lagi baik. Sehingga, saya pernah mengecewakan siswa yang sudah berharap bisa menonton film “Teletubbies” dan “Pocoyo” dalam bahasa Jerman karena infocus di kelas tidak berfungsi.       


                             Pocoyo, film animasi yang bisa dijadikan bahan untuk mendalami bahasa Jerman
  
Penggunaan Facebook untuk Belajar Bahasa

Mengajarkan bahasa asing khususnya bahasa Jerman memiliki tantangan tersendiri. Bagaimana membuat siswa yang tadinya tidak mengenal bahasa Jerman sama sekali kemudian bisa mengerti dan berbicara dalam bahasa Jerman dalam waktu relatif singkat. Keberhasilan siswa dalam mempelajari bahasa Jerman tidak bisa hanya dinilai melalui hasil ujian. Karena bahasa adalah sarana komunikasi yang menghubungkan seseorang dengan orang lainnya, maka tolok ukur terbaik dalam menilai kemampuan bahasa seseorang adalah melalui percakapan ataupun tulisan yang mewakili percakapan tersebut.
Hal itu kemudian membuat saya berpikir untuk lebih memudahkan siswa belajar di rumah dengan membuat sebuah grup pembelajaran bahasa Jerman di Facebook, khusus untuk siswa-siswa saya, demi menambah alternatif cara belajar. Seperti yang telah diketahui secara luas, Facebook merupakan media sosial yang paling banyak penggunanya, dan tak sedikit dari mereka yang merupakan siswa SMA. Saya pernah menyempatkan diri untuk mencari akun Facebook siswa-siswa saya, dan ternyata cukup banyak dari mereka yang aktif di media sosial tersebut. Menariknya, status-status pendek yang ditulis oleh mereka seperti “bosan”, “hmm ...,” atau “lagi males” mencerminkan bahwa mereka tidak tahu ingin menulis apa ataupun melakukan apa di Facebook. Hal ini dapat dimaklumi mengingat usia mereka yang masih sangat muda sehingga memiliki pengetahuan yang terbatas dan karenanya belum bisa memaksimalkan penggunaan Facebook untuk hal-hal yang lebih berguna.
Ide saya membuat grup belajar bahasa Jerman di Facebook mendapat tanggapan positif dari siswa-siswa saya. Di grup bernama Wir Lernen Deutsch tersebut, saya dan para siswa saling berinteraksi melalui diskusi sederhana tentang pelajaran bahasa Jerman. Saya mengusahakan menulis status yang sesuai dengan apa yang baru dipelajari di kelas. Seperti gambar di bawah ini: 

Status sesuai dengan apa yang sudah dipelajari di kelas

Berbagai video berbahasa Jerman yang tadinya tidak bisa ditonton di kelas pun dapat dengan mudah diakses di grup Wir Lernen Deutsch. Siswa bebas menontonnya kapan saja, di mana saja, dan dapat ditonton berulang-ulang sampai paham. Tentu saja saya menyertakan “tugas mandiri” terkait video yang ditonton agar siswa dapat berlatih di luar kelas, meskipun tanpa paksaan mengerjakan.
Ini melegakan. Karena, jauh lebih mudah membagikan bahan ajar tambahan di grup Facebook dibanding membawa seabrek perlengkapan ke kelas. Apalagi siswa langsung dapat mengaksesnya hanya dengan modal sambungan internet. Meskipun demikian, grup Wir Lernen Deutsch bukanlah segala-galanya. Pembelajaran di kelas tetap harus dilakukan dengan maksimal. Saya tetap menjalani rutinitas saya yang membawa berbagai kebutuhan mengajar yang menyenangkan ke kelas. Grup Facebook hanyalah pendukung dan “layanan” ekstra dari saya untuk para siswa. 


Video yang tidak bisa ditonton di kelas, diunggah ke grup Facebook

Dalam grup Wir Lernen Deutsch, siswa bebas bertanya tentang apa pun yang ingin diketahuinya—tak melulu soal pelajaran. Tak hanya saya, siswa juga diperbolehkan dan disarankan untuk membagikan sesuatu tentang hal-hal yang berkaitan dengan bahasa Jerman/negara Jerman untuk didiskusikan atau sekadar sebagai bahan obrolan.
Sesuai tujuan pembelajaran bahasa agar pembelajarnya dapat menguasai bahasa tersebut, siswa diimbau untuk berupaya menuliskan komentar atau status di grup dalam bahasa Jerman semampu mereka. Apalagi Facebook juga memberi layanan penerjemahan di bagian bawah setiap komentar berbahasa asing. Salah tidak apa-apa, yang penting mereka mencoba. Dalam menulis komentar dalam bahasa Jerman, secara tidak langsung mereka juga belajar. Mungkin mereka perlu membuka kamus atau translator sebelumnya, yang nantinya dapat menambah perbendaharaan kata yang mereka ingat. Karena, belajar melalui praktik langsung jauh lebih efektif dan mudah ketimbang hanya menerima atau membaca teori.


Sah-sah saja meminta bantuan Google Translate untuk menulis komentar dalam bahasa Jerman

 Pembentukan grup ini juga akan memberikan alternatif kegiatan di Facebook daripada sekadar “curhat”. Siswa jadi memiliki tujuan yang lebih positif ketika mengisi waktu dengan Facebook-an. Belajar bahasa Jerman diharapkan menjadi lebih menyenangkan karena dilakukan tanpa beban ataupun tuntutan yang berlebihan. Dan, yang paling penting, mereka dapat belajar kapan saja mereka inginkan, tak terbatas hanya di kelas.

Guru Bahasa Asing Harus Menyenangkan
Selayaknya sebuah media sosial yang mengutamakan silaturahmi, keberadaan grup ini juga membuat saya lebih dekat dan akrab dengan siswa-siswa saya. Yang menarik, ada seorang siswa yang sangat tidak acuh di kelas (sering terlihat asyik dengan tabletnya), tetapi ternyata aktif di grup Facebook ini. Apa pun alasan yang membuatnya aktif di grup—meskipun sebenarnya tidak ingin serius belajar—saya tetap bersyukur. Karena, ketika dia masuk ke grup, minimal dia membaca postingan terbaru saya yang berisi pelajaran bahasa Jerman yang sudah dibahas di kelas.    
Menurut saya, guru bahasa asing haruslah menjadi guru yang menyenangkan bagi siswa-siswanya. Karena, keberhasilan seseorang mempelajari bahasa asing sangat ditentukan oleh kenyamanan dalam belajar, baik itu ruangan atau suasana belajar, maupun interaksi yang berkualitas dengan guru. Siswa harus terbebas dari rasa takut dan malu kepada guru bahasanya agar dia dapat mempraktikkan kemampuannya berbahasa asing tanpa ragu. Ketertarikan siswa pada media sosial sangat mendukung hal ini. Karena, suasana kaku yang biasa terjadi di kelas dapat dicairkan melalui pembelajaran di media sosial.
Bagaimanapun, teknologi informasi dan komunikasi sangat dibutuhkan dewasa ini. Dunia telah berkembang dengan sangat pesat. Cara belajar siswa masa kini juga mungkin sudah jauh berubah dibandingkan dengan gaya belajar siswa dua puluh tahun yang lalu. Kebanyakan siswa sekarang lebih menyukai belajar lewat internet ketimbang belajar secara normal. Sebagai guru, kita diharapkan lebih peka dan update dengan teknologi-teknologi terbaru yang kira-kira bisa "diboyong" ke kelas demi menyesuaikan atau meng-up date cara mengajar kita.[] 

(Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Guru Blogger Inspiratif 2014 dengan tema "Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Menunjang Proses Mengajar")

Senin, 28 April 2014

Taman Putroe Phang dan Gunongan; Tempat Bermain si Putri Pahang



           Hari Minggu. Hm ... mau ajak anak-anak jalan-jalan ke mana, ya? Rasanya bosan kalau ke tempat yang itu-itu saja. Akhirnya saya punya ide, "Bagaimana kalau kita pergi ke objek wisata yang bersejarah?" tanya saya pada anak-anak. 
           Ternyata anak-anak tidak begitu bersemangat dan menolak pergi, tapi saya terus menyemangati. Masa, sih, tinggal di Banda Aceh tapi tidak pernah mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang ada di Banda Aceh? Kalau ada turis yang bertanya, bagaimana nanti kami bisa memberikan keterangan yang memadai? Terlebih, anak-anak saya belum terlalu lama tinggal di Banda Aceh karena dulu menetap di luar negeri. Jadi, mereka memang belum banyak mengunjungi tempat-tempat menarik di kota ini.
       Maka, hari itu, saya mengajak suami dan anak-anak berjalan-jalan ke beberapa objek wisata bersejarah di Banda Aceh, termasuk Taman Putroe Phang dan Taman Sari Gunongan. Tak lupa, saya meminta anak-anak membawa alat tulisnya untuk mencatat apa-apa yang menarik di lokasi wisata tersebut.
        “Kita sedang menjadi Dora the explorer!” seru saya bersemangat. Tapi, anak-anak malah memandang saya dengan ekspresi datar. Ah, sudahlah! Let's go!
        Kami pergi dengan menggunakan kendaraan pribadi agar perjalanan menjadi lebih mudah. Taman Putroe Phang terletak di Jalan Nyak Adam Kamil, tidak begitu jauh dari Masjid Raya Baiturrahman—masjid yang menjadi landmark kota Banda Aceh—sehingga tidak sulit menemukan lokasi wisata menarik ini. Selain dengan kendaraan pribadi, tentu saja taman ini bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan umum, orang Banda Aceh biasa menyebutnya “labi-labi”. Dari tempat mangkal labi-labi di daerah Merduati, ongkosnya sekitar Rp3.000,00. Atau, bisa juga dengan menumpang becak motor. Ongkosnya tergantung jarak yang ditempuh, biasanya sekitar Rp3.000,00/km. Ya, setidaknya itu berdasarkan stiker tarif yang sering saya lihat di belakang becak motor. Tapi, sepertinya masih bisa nego, sih!   

Pintu Masuk Taman Putroe Phang

            Menjelang siang dan perut mulai keroncongan, kami tiba di Taman Putroe Phang. Dari luar, taman ini tampak sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat di sekitar lokasi—para satpam dan penjual jajanan. Lho, pengunjungnya cuma kami? Entahlah, mungkin di dalam taman ada pengunjung lain. Setelah memarkir mobil di bawah kerindangan pepohonan besar, kami langsung masuk ke dalam taman. 
Taman Putroe Phang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) pada abad ke-16. Menurut riwayat, taman ini merupakan ungkapan rasa cinta sang Sultan pada istrinya yang berasal dari Kerajaan Pahang, Malaysia. Wow, romantis, ya? Seperti kisah Taj Mahal di India saja!  
Putroe Phang (bahasa Aceh) sendiri jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti “Putri Pahang”. Konon, Putroe Phang sering merasa sedih dan gundah karena rindu pada kampung halamannya di Pahang. Oleh karena itu, untuk menghibur sang Permaisuri, Sultan Iskandar Muda mempersembahkan taman ini agar Putroe Phang dapat bermain dengan dayang-dayang dan melupakan kegundahannya.

Taman Putroe Phang yang cantik.

Begitu kami memasuki taman, tampak bangunan kecil berbentuk seperti kubah berdiri di tengah-tengah taman yang dikelilingi kolam. Rupanya, itu adalah Pintoe Khop. Pintoe Khop yang berukuran 2x3x3 meter ini dulunya merupakan pintu gerbang yang menghubungkan istana dengan Taman Sari Gunongan (dulu bernama Taman Ghairah). Pintoe Khop ini disebut juga Pintu Biram Indrabangsa yang artinya “pintu mutiara keindraan atau raja-raja”. Kini Pintoe Khop terlihat unik, seperti bangunan kecil berwarna putih yang “berdiri sendirian” di dalam taman, ditambah lagi ia telah dipagari demi menjaganya dari tangan-tangan jail. Ungkapan lebih gamblangnya lagi, ya tinggal pintu doang

Pintoe Khop

Pintoe Khop dari dekat
Catatan Sejarah Pintoe Khop

            Saya sengaja menyiapkan bekal makan siang dari rumah agar kami bisa sekalian piknik. Ya, untuk menghemat juga, sih. Kami pun mencari-cari tempat yang paling strategis agar dapat berpiknik dengan nyaman. Tampak tempat duduk bertingkat dari beton berbentuk setengah lingkaran yang di depannya ada semacam selasar yang dilindungi kanopi. Tempat itu biasa digunakan jika ada acara-acara yang berlangsung di Taman Putroe Phang. Tapi, kami tidak ingin duduk di sini, kami mencari tempat duduk yang lebih masuk lagi ke dalam taman agar bisa melihat pemandangan dengan lebih leluasa.

Tempat duduk yang teduh
 
Berpayung kanopi.
            
            Kami lalu melewati sebuah jembatan gantung bercat putih untuk menyeberangi kolam pemandian sang Permaisuri. Jembatan itu tampak kokoh dan cantik, serta tidak terlalu bergoyang saat ditapaki. Anak-anak malah senang mondar-mandir di jembatan ini. Sensasi berjalan sambil digoyang-goyang rupanya sangat menarik buat anak-anak. Kalau saya, sih, pusing!  

Jembatan Gantung

Tak jauh dari ujung jembatan, di bawah tempat duduk berpayung yang terbuat dari besi yang dicat putih, kami pun menikmati santap siang sambil melihat-lihat keindahan taman. Menu nasi putih dengan daging rendang terasa nikmat meskipun tanpa sayur. Saat itu, taman masih sepi. Hanya ada tiga orang remaja yang sedang duduk-duduk santai di bangku taman. Apa karena ini masih siang? Setahu saya, keadaan akan berbeda bila sore hari. Saya sering melihat taman di tengah kota ini penuh dengan keluarga yang membawa anak-anaknya bermain di arena playground yang tersedia, terutama pada hari libur. Fasilitas playground-nya lumayan mengasyikkan buat anak-anak yang berusia di bawah dua belas tahun. Atau, mungkin masih kurang promosi, ya, sehingga wisatawan belum begitu tertarik untuk mendatangi Taman Putroe Phang ini.

Kursi taman

Playground

Usai menghabiskan makanan, saya membiarkan anak-anak bermain sebentar di playground, sementara saya duduk sambil memperhatikan sekitar. Hhh ... sungguh tenang rasanya berada di taman ini. Taman Putroe Phang yang luas tampak asri dengan pepohonan yang tumbuh teratur dan rapi. Imajinasi langsung mengantarkan saya ke zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Seolah-olah saya sedang berada di sini bersama Putroe Phang yang bersenda gurau dengan dayang-dayangnya, mandi bunga di kolam, atau sekadar melepas lelah. Seorang putri cantik menawan berlarian di sebuah taman nan indah ... hm ... sungguh pemandangan yang memesona. Mungkin saat itu taman ini jauh lebih indah dengan berbagai macam bunga yang menghiasinya, yang sayangnya tak lagi saya temukan saat ini. Saya tersenyum membayangkannya. Ah, ngayal! Yang jelas, taman istimewa ini masih memerlukan beragam bunga aneka warna untuk menambah keindahan dan kecantikannya. Kalau yang sekarang saya lihat, di mana-mana hanya didominasi warna hijau. Adem, sih, tapi kurang cetar membahana! 

Pepohonan yang berjajar rapi
Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ceritanya hingga seorang putri dari Kerajaan Pahang, Malaysia, bisa menjadi permaisuri seorang Sultan Aceh? Kenalannya di mana? Aceh dan Malaysia, kan, jauh untuk ukuran transportasi zaman dahulu. Apalagi dulu belum ada media sosial, hehehe.
Ternyata, dulu tentara Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kerajaan Pahang di Semenanjung Utara Melayu. Sebagaimana kerajaan yang kalah perang, maka Kerajaan Pahang harus menyerahkan harta rampasan perang, upeti, dan pajak tahunan kepada Sultan Iskandar Muda. Dan, sebagai tanda takluk, Kerajaan Pahang juga harus merelakan Putri Pahang dibawa oleh Sultan Aceh tersebut.  
Kiranya, Putri Pahang nan cantik jelita dan berbudi bahasa sangat halus itu membuat sang Sultan terpikat. Akhirnya, Sultan pun memperistri Putri Pahang dan menjadikannya sebagai permaisuri. Pada masa itu, pernikahan antara seorang raja dengan putri kerajaan yang ditaklukkannya memang sudah biasa terjadi. Karena, hal itu dapat memperkuat kedudukan kerajaan yang menang, selain untuk mempererat persaudaraan.
Terletak di Negeri Syariat, Taman Putroe Phang juga dilengkapi dengan musala kecil, beserta toilet di dekatnya untuk memudahkan pengunjung mengambil air wudu. Taman ini terlihat sangat bersih, tampak banyak sekali tempat sampah yang tersebar di sana. Bahkan tong sampahnya dipisah antara untuk sampah basah dan untuk sampah kering. Wah, komplet, deh! Semakin betah berlama-lama bersantai di sini.

Musala

Toilet

Setelah anak-anak puas bermain, saya mengajak mereka ke Taman Sari Gunongan (dulu bernama Taman Ghairah) yang letaknya bersebelahan dengan Taman Putroe Phang. Asyik juga, nih, lokasi wisatanya berdekatan, jadi tidak terlalu capek mencapainya. Malah, di depan Taman Sari Gunongan juga ada objek wisata Kherkoff, makam tentara-tentara Belanda yang wafat dalam pertempuran di Aceh dulu.

Papan Petunjuk Taman Sari Gunongan

Ketika kami masuk ke lokasi Gunongan, suasana juga tampak sepi. Cuma ada tiga orang remaja putri yang terlihat sedang asyik berfoto-foto. Hei, ke mana orang-orang lainnya? Sepi-sepi saja! Padahal, bangunan Gunongan ini tampak cantik dan menyimpan sejarah yang menarik, lho. Ternyata, program Visit Aceh 2013 yang lalu masih belum bergigi untuk mendongkrak minat wisatawan berkunjung ke sini, ya. Woro-woro-nya harus digencarkan lagi, dong!
Rupanya Gunongan dulu merupakan bagian dari Taman Putroe Phang, tetapi sekarang sudah terpisah oleh jalan raya sehingga tampak seperti dua objek wisata yang berbeda. Oh ... pantaslah! Dengar-dengar, dulu ada lorong di bawah tanah bangunan Gunongan yang menuju ke Pintoe Khop, tetapi kini sudah ditimbun seiring dengan pembangunan daerah ini.

Gunongan
   
Gunongan berarti “gunung kecil” dan merupakan miniatur perbukitan yang mengelilingi kerajaan Putroe Phang di Pahang. Sengaja dibangun sedemikian rupa agar Putroe Phang tidak selalu bersedih karena teringat Kerajaan Pahang. Jadi, seolah-olah Putroe Phang sedang berada di negerinya sendiri, begitu. 
Gunongan berbentuk persegi enam seperti bunga dan puncaknya dibentuk seperti mahkota. Di salah satu sisi Gunongan ini, ada sebuah pintu kecil yang ditutup semacam pintu pagar yang terbuat dari besi dan dicat warna perak. Sayang sekali, pintu itu digembok, sehingga saya tidak bisa masuk. Namun, saya sempat mengintip ke dalamnya. Ternyata itu sebuah lorong! Menurut keterangan yang saya baca di sana, di dalam lorong pintu tersebut, ada sebuah tangga untuk naik ke tingkat tiga bangunan Gunongan. Yah ... nggak bisa naik, deh!

Pintu masuk ke dalam Gunongan
 
Ini lorongnya.
Hari-hari sang Permaisuri banyak dihabiskan di sekitar Gunongan. Bersama dayang-dayangnya, dia senang memanjati bangunan Gunongan ini. Saya juga sempat melihat sebuah foto yang mengabadikan beberapa tentara KNIL (tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang duduk di atas Gunongan pada tahun 1874. Ternyata, sejak dahulu, Gunongan telah menjadi objek yang menarik dan cocok menjadi tempat untuk berfoto, ya! 

Foto tentara KNIL sedang duduk di atas Gunongan

Selain sebagai tempat bercengkerama, Gunongan juga dijadikan sebagai tempat Putroe Phang berganti pakaian dan mengeringkan rambut usai berenang di kolam pemandian. Di dekatnya ada sebuah bangunan kecil dan pendek berukir. Ada lubang di bagian atasnya. Bentuknya mirip lesung tempat menumbuk padi dan ada undakan untuk naik ke atas. Tadinya saya pikir itu apa ... kok aneh? Ternyata itu adalah Leusong, bagian dari Gunongan juga. Saat saya lihat, Leusong itu berisi air. Mungkin itu air hujan yang tertampung.

Leusong

Di samping Gunongan, ada sebuah bangunan yang dinamakan Kandang. Bentuknya persegi empat. Ada sebuah pintu masuk seperti pintu pagar besi yang lebih besar daripada pintu masuk ke Gunongan. Namun, lagi-lagi karena dikunci, saya hanya bisa melihat dari luar. Bagian dalam Kandang terlihat seperti taman berumput. Aduh, ini kenapa pada dikunci semua? Padahal saya, kan, turis juga ... walaupun domestik.

Kandang di sebelah Gunongan

Dulu, Kandang merupakan tempat jamuan makan Sultan Iskandar Muda dan Putroe Phang bersama orang-orang istana, juga rakyat. Katanya, sih, dulu Kandang ini ada atapnya. Berarti, Sultan Iskandar Muda itu rendah hati sekali, ya, sampai-sampai beliau berkenan menjamu rakyatnya di Taman Ghairah ini? Mengagumkan! Raja yang sangat merakyat. Patut dicontoh oleh para pemimpin di negeri ini, khususnya di Aceh.
Beberapa waktu kemudian, Kandang dijadikan sebagai makam Sultan Iskandar Thani, menantu Sultan Iskandar Muda, yang memerintah tahun 1636-1642. Sultan Iskandar Thani ini merupakan anak Sultan Pahang, Malaysia, dan Sultanah Safiatuddin Tajul Alam. 

Pintu masuk ke Kandang

Menelusuri sejarah Taman Putroe Phang dan Taman Sari Gunongan sungguh menyenangkan. Kisah sebuah kerajaan dengan seorang permaisuri cantik dan raja tampan memang selalu memiliki daya tarik bagi siapa saja. Bak cerita dalam dongeng, tapi romantisme Sultan Iskandar Muda dengan Putroe Phang ini kisah nyata. Sejarah, lho! Anak-anak saya yang tadinya tidak begitu berminat mengunjungi objek wisata ini, belakangan malah meminta saya untuk lebih lama lagi berada di tempat ini. Mereka sibuk membaca keterangan-keterangan tentang Gunongan yang terdapat di sana sambil mencatat apa-apa yang menarik.
"Sebentar, Ma! Saya belum siap mencatat!" seru anak sulung saya ketika diajak pulang.

Catatan Sejarah Gunongan

Yang saya sayangkan, pintu masuk ke bangunan Gunongan dan Kandang terkunci, sehingga wisata kami ke sini menjadi tak lengkap dan tak tuntas. Alangkah baiknya jika tempat wisata ini selalu dalam keadaan “siap dikunjungi” selama waktu kunjungan agar pengunjung yang sudah jauh-jauh datang ke sini tidak kecewa. Kalau saya, yang memang tinggal di Banda Aceh, masih bisalah di lain kesempatan berkunjung lagi sampai berkali-kali demi memuaskan keingintahuan saya tentang apa yang ada di balik pintu-pintu yang terkunci itu. Tapi, kalau turis asing atau turis dari luar daerah? Belum tentu mereka punya kesempatan datang ke sini lagi. Sayang, kan?  
Setelah anak-anak puas, kami pun meninggalkan Taman Sari Gunongan. Saya tersenyum penuh kemenangan ketika anak sulung saya yang tadinya ogah-ogahan pergi ke sini berkata, “Ternyata, sejarah Aceh itu menarik sekali, ya, Ma. Saya kira cuma begitu-begitu saja.”
Memanglah, Nak, tak kenal maka tak sayang. Kenali tanah kelahiranmu agar cinta pada negeri ini bertumbuh di hatimu ....[]

Jumat, 12 Juli 2013

Saya, Si Jagoan Kuda Tunggang

Kuda tunggang, itulah nama permainan tradisional favorit saya saat masih duduk di bangku SD tahun 80-an. Di tanah kelahiran saya, Desa Rantau Pauh Aceh Tamiang, permainan ini sangat populer di kalangan anak-anak, terutama di sekolah.
Permainan kuda tunggang dimainkan oleh dua tim yang umumnya terdiri dari 3 sampai 5 orang anak. Seorang wasit dipilih sebagai tumpuan kuda pertama, sekaligus sebagai juru suit. Nah, siapa yang menjadi kuda-kudanya? Tentu saja anak-anak anggota salah satu tim yang mendapat giliran menjadi “pecundang”, sementara anak-anak tim yang satunya lagi menjadi penunggang mereka.
Tim Pecundang sebagai kuda tunggangan harus berderet ke belakang dengan posisi badan membungkuk seperti sedang rukuk. Anak-anak anggota tim ini harus memeluk pinggang anak yang membungkuk di depannya dengan erat, sedangkan kepala dimiringkan ke samping agar tidak mencium punggung anak tersebut. Kaki-kaki mereka disiapkan agar cukup kuat menahan beban tunggangan nantinya. Sementara wasit bersender pada dinding, baik dinding tembok, batang pohon, atau apa pun yang bisa dijadikan senderan, dan kuda pertama akan memeluk pinggang wasit. Wasitlah yang mengawasi jalannya permainan, apakah ada yang curang, apakah ada penunggang yang kakinya menyentuh tanah, dan sebagainya.
Setelah Tim Pecundang siap tempur, anak-anak Tim Penunggang akan meloncat satu per satu menaiki punggung Tim Pecundang. Biasanya sebelum melompat, penunggang mengambil ancang-ancang terlebih dahulu dengan mundur beberapa langkah ke belakang, lalu berlari kecil dan melompat dengan kedua tangan bertumpu pada punggung kuda tunggang, kemudian mendarat duduk di atasnya. Begitu semua anggota Tim Penunggang sudah berada di atas punggung Tim Pecundang, anak yang melompat terakhir kali harus melakukan suit jari dengan wasit. Jika Tim Penunggang menang dalam suit ini, berarti mereka boleh tetap menjadi tim penunggang. Tetapi jika kalah, mereka harus bertukar tempat dengan Tim Pecundang, alias menjadi kuda tunggangan.
Bagi saya dan teman-teman, hampir tiada hari tanpa bermain kuda tunggang. Biasanya kami bermain saat jam istirahat di halaman belakang sekolah yang teduh. Ya, permainan kuda tunggang ini memang sangat menguras energi sehingga pemainnya merasa kepanasan dan kegerahan. Bagaimana tidak? Baik menjadi kuda tunggangan maupun menjadi penunggang, keduanya sama-sama capek. Kuda tunggangan babak belur menahan beban penunggang, sementara penunggang juga capek karena harus melompat sejauh mungkin agar dapat duduk di atas kuda dengan masih menyisakan tempat bagi penunggang selanjutnya. Tak heran jika para pemain kuda tunggang ini selalu banjir keringat dengan muka merah padam!
Saya sendiri dikenal oleh teman-teman sebagai jagoan kuda tunggang. Walaupun biasanya para pemain kuda tunggang dipilih berdasarkan bentuk tubuhnya yang besar dan kuat, itu tidak berlaku bagi saya yang bertubuh kurus dan kecil. Ya, meskipun saya kelihatan “ringkih”, tapi saya sangat gesit dan jitu. Lompatan saya sangat jauh, tajam, dan tepat sasaran ketika naik ke atas kuda tunggangan. Tim Pecundang akan “keder” menerima lompatan saya, yang membuat mereka terenyak ke bawah saking kerasnya pendaratan yang saya lakukan. Kalau kaki mereka tak siap dan kuat, mereka akan ambruk seketika. Bagi Tim Pecundang, tak penting apakah saya menjadi penunggang giliran pertama, tengah, atau terakhir. Semuanya sama-sama berbahaya!

Kalau saya menjadi penunggang pertama, baik kuda pertama maupun wasit harus rela mendapat “serudukan” kencang dari saya. Wasit akan meringis menahan sakit di perutnya, sementara kuda pertama juga kesakitan karena kepalanya kejeduk tembok karena saya berhasil melompat sampai ke lehernya. Saya menyisakan masih banyak sekali tempat bagi anggota tim saya, Tim Penunggang, sehingga tak masalah kalau lompatan anggota tim saya pas-pasan.

Kalau saya mendapat giliran melompat terakhir juga tak apa-apa. Biasanya, anggota tim saya sudah bertumpuk-tumpuk di kuda paling belakang karena lompatan mereka tidak terlalu jauh. Saya, dengan badan yang kecil dan ringan ini, dapat melompat dengan mudah naik ke atas tubuh-tubuh anggota tim saya untuk membentuk gundukan tinggi! Tinggallah si kuda yang malang menahan semua berat tubuh kami. 

Kalau saya harus menjadi pecundang atau kuda tunggangn, dengan badan kurus begini tentu tak kuat menahan beban, saya akan "dilindungi" dengan kerap ditempatkan pada posisi kuda pertama. Tak banyak anak yang mampu mencapai pendaratan di atas kuda pertama karena memerlukan lompatan yang jauh.  Jadi, saya tetap aman. :D
Itu sebabnya, tim yang ada saya di dalamnya hampir selalu menjadi pemenang dalam permainan kuda tunggang ini. Tak jarang saya menjadi rebutan agar bersedia menjadi anggota salah satu tim. Rayuan maut, rayuan Pulau Kelapa, semuanya dilancarkan untuk merebut hati saya. Bagi saya sendiri, tak masalah mau masuk tim yang mana karena saya selalu punya cara untuk mengatur lompatan saya. Kalau menang atau kalah dalam suit, itu hanya soal keberuntungan.
Tetapi, ternyata saya hanya menjadi jagoan dalam kuda tunggang, sementara dalam permainan kuaci saya selalu menjadi pecundang. Yang dimaksud dengan kuaci di sini adalah mainan berukuran kecil yang terbuat dari plastik atom berbentuk berbagai macam benda, buah, atau hewan. Cara bermainnya dengan melempar beberapa kuaci ke lantai atau tanah yang telah diberi garis pembatas, lalu gacuk (kuaci andalan pemain) dilempar dengan cara seperti mematuk agar mengenai kuaci milik lawan. Kalau berhasil, maka semua kuaci yang dilempar tadi menjadi milik di pelempar.
Saya kalah melulu dalam permainan kuaci ini. Sekantong plastik kuaci yang saya bawa dari rumah pun habis dalam sekejap. Raut muka saya selalu cemberut sepanjang permainan karena kesal sekaligus menahan tangis. Hm ... bolehlah saya garang waktu main kuda tunggang, tetapi ternyata cengeng saat main kuaci!
Sayang sekali permainan kuda tunggang tak saya temukan lagi zaman sekarang ini. Padahal, permainan tradisional ini sangat seru dan dapat dimainkan di mana saja. Apalagi, selain tak memerlukan biaya, kuda tunggang ini juga bisa dijadikan sebagai alternatif olahraga bagi anak-anak. Selain itu, permainan yang memerlukan kerja sama tim yang baik ini juga dapat mendidik anak agar tidak egois dan terbiasa saling menolong dalam keseharian.

Indonesia adalah negeri yang kaya budaya. Berbagai tempat menarik dengan budaya beragam seperti yang dapat dilihat dalam situs Indonesia Travel merupakan kekayaan eksklusif yang hanya menjadi milik Indonesia. Seandainya permainan-permainan tradisional juga tetap dijaga kelestariannya, tentu akan menambah daya tarik wisata berbagai daerah di negeri ini. Sudah saatnya anak-anak diimbau agar tak hanya duduk bermain di depan komputer, melainkan menggerakkan tubuh memainkan permainan tradisional seperti kuda tunggang.[Be]

Jumat, 05 Juli 2013

Kalau Bukan Miyako, Berisik!

Sejak mengetahui khasiat jus sayur dan buah, saya jadi keranjingan minum jus, sehingga saya memutuskan untuk membeli juicer. Saat itu, karena masih coba-coba, saya membeli juicer—sebut saja mereknya—X.

Tapi, saya kok kerepotan, ya? Bayangkan, sebelum mengejus wortel, saya harus memotongnya kecil-kecil, lalu saat mengejus pun saya masih harus berhenti sebentar-sebentar. Ya, kapasitas tampung ampasnya yang kecil membuat saya bolak-balik harus membongkar juicer untuk mengeluarkan ampasnya. Sudah dapat dipastikan dapur saya menjadi kotor dan berantakan akibat tetesan jus dan ampas wortel yang berceceran. Aduh, repot amat!
Namun, di samping semua itu, ada hal yang benar-benar menjengkelkan saya. Suara juicer X itu ... ya ampun ... kayak suara traktor! Besar banget, sampai-sampai kedengaran ke rumah tetangga!
“Mbak Beby suka bikin jus, ya?” tanya tetangga saya suatu sore di jalan depan rumah.
“Eh, kok, tahu? Kedengeran, ya, suaranya?” tanya saya dengan muka merah padam.
“Hehehe, iya!” jawabnya lagi sambil tertawa.
Olala! Malu-maluin saja!
Tak sampai di situ, seminggu kemudian, juicer X mulai berulah. Setiap kali beroperasi, onderdilnya “bubar” semua. Saya sampai panik dan mengerahkan anak-anak untuk memegang/menekan kuat bagian atas dan samping agar perangkatnya tidak copot satu per satu! Kebayang, kan, seperti apa hebohnya satu keluarga berjuang demi mendapatkan segelas jus? Tak ayal, membuat jus pun menjadi rutinitas yang mengerikan dan menyebalkan, juga bikin saya “jamuran” di dapur saking lamanya!
Suaranya? Jangan ditanya, bertambah-tambahlah berisiknya. Kalau dulu cuma brrrkkk ... brrrkkkk ... brrrkkk, sekarang menjadi GEDUBRAKKK ... GUBRAKK ... BRAKKK ... BRUAKKK! Serasa mau rontok dapur saya! 
Merasa dianiaya oleh sebuah juicer, saya pun diam-diam berdoa agar juicer X cepatlah rusak total agar hidup saya lebih tenang dan damai. Alhamdulillah, tak menunggu lama, barang rongsokan itu benar-benar berakhir masa hidupnya.
Saya pun kembali membeli juicer, dan kali ini saya terkesan melihat juicer merek Miyako. Tak hanya lebih besar, model dan warnanya yang kalem pun membuat saya langsung terpikat. Yang paling penting, harganya tidak terlalu mahal. Apalagi, memang barang-barang elektronik di rumah saya kebanyakan bermerek Miyako; dispenser, rice box, mixer, pembuat sandwich, dan blender; yang sudah teruji daya kerja dan daya tahannya, menarik desainnya dan dapat mempercantik dapur.  
Blender, merek Miyakonya sudah hilang saking tua umurnya.

Pembuat sandwich, simpel dan elegan, mempercantik pantry saya

Misalnya, pembuat sandwich Miyako saya pakai sampai bertahun-tahun dan baru rusak akibat dijatuhkan hingga pecah oleh anak saya. Padahal, pembuat sandwich itu saya bawa pindah ke Jerman, lho, yang berarti terjadi perubahan dalam pelistrikan, tapi tetap awet, tuh! Ketika kemudian saya membeli lagi pembuat sandwich Miyako, anehnya, harganya tak jauh berubah daripada harga pertama kali saya membelinya saat baru lulus kuliah! Padahal beda waktunya enam belas tahun, lho. Wah, stabil banget harganya, ya! Takjub saya.
Mixer, bikin kue secepat kilat

Rice box dan dispenser, saling mendukung :D
Pilihan saya terhadap juicer Miyako memang tak salah. Membuat jus jadi simpel banget. Saya cukup memasukkan wortel utuh yang telah dikupas ke dalam juicer Miyako, tampung jusnya, beres, deh! Tinggal glek!
Ini pahlawan jus saya!

Ampasnya? Biarkan saja, karena daya tampung ampas juicer Miyako sangat besar. Mau bikin jus lagi? Ayo saja! Tak perlu buang ampasnya dulu. Saya hanya perlu membuangnya satu kali saat akan dicuci pada malam hari setelah aktivitas membuat bermacam jus selesai. Wow, santai banget, kan?
Dan yang paling utama, suara juicer Miyako tidak berisik seperti juicer X yang suka “meraung-raung”. Normal sajalah. Beda banget sama juicer X yang bagai membuat “pengumuman bikin jus” ke tetangga. Membuat jus menjadi sangat mudah dan menyenangkan, dan tentu saja saya bertambah sehat, dong! 
Yang jelas, saya nggak bakalan lagi coba-coba merek barang elektronik selain Miyako. Berisik, sih! Semakin cinta, deh, dengan Miyako! [Be] 


(Artikel ini menjadi pemenang 5 dalam Blog Competition yang diselenggarakan oleh Miyako Indonesia)   

PMS, Bikin Tiap Bulan Pengin Makan Orang!

Jangan mendekat! Jangan mendekat! Mami sereeem!! Kyaaa!
Ya, begitulah kira-kira kalau saya sedang menjelang menstruasi. Lebih baik orang-orang di sekitar saya segera menyelamatkan diri sebelum semuanya terlambat!

"Mami, Geunta ngotorin kamar Sulthan!" teriak Sulthan, putra saya, dari kamarnya. Rupanya, adiknya makan biskuit di dalam kamarnya sampai berantakan.
"Iiih ... gimana, sih? Kalau jadi abang itu harus sayang sama adik! Kalau kotor, ya disapu! Masa harus Mami yang nyapu?! Mami, kan, lagi bla ... bla ... bla ...!" Saya pun nyerocos tanpa henti sampai Sulthan cemberut.
Korban pertama jatuh.
 
"Mamiii! Mau snack!" seru Brina tiba-tiba.
"Aduuuh! Ntar dulu, dong! Ini, kan, belum jam tiga, belum saatnya snack! Tunggu satu jam lagi! Baru makan siang udah laper lagi!"
Korban kedua nggelosor.

Dan demikian seterusnya, korban-korban selanjutnya bergelimpangan dengan sukses! Masing-masing kena semprotan dan omelan oleh saya yang lagi sensitif banget menjelang masa-masa menstruasi.
Hohoho ... seraaaam!

Bagaimana tidak sensitif? Tubuh saya sedang tidak enak banget. Perut bawah dan payudara nyeri, kepala terasa berat, badan lelah, mual, aduh ... pengin tiduran saja, deh, rasanya. Tapi, ya tidak bisa. Pekerjaan rumahtangga dan orderan lain menanti untuk dituntaskan. Bagaimanapun, saya tetap harus beraktivitas.
Dan, yang paling menyebalkan, kalau saya harus pergi belanja sendiri naik motor. Jalanan dekat rumah saya itu belum diaspal, masih berbatu-batu. Kebayang, kan, bagaimana rasa sakit saya semakin bertambah ketika melewati jalanan seperti itu? Sampai-sampai saya harus naik motor sambil agak berdiri, lho, supaya goncangan yang saya rasakan tidak terlalu keras. Hiks ... hiks ....
 
Melihat saya seharian uring-uringan, begitu saya masuk ke kamar, suami saya bertanya sambil tersenyum, "Kamu kenapa, sih, kok jutek amat hari ini? Uring-uringan terus dari tadi? Kasihan anak-anak diomeli terus."
"Tau, ah. PMS, kali, jawab saya pendek dengan wajah ditekuk." 
Ya, sebenarnya, saya pun tidak nyaman dengan keadaan seperti ini, tetapi apa mau dikata, semuanya terjadi begitu saja.
"PMS? Apa, tuh?" tanya suami saya bingung.
"Premenstrual syndrome, sindrom prahaid, jadi sensitif kalau mau haid. Jadi, harap maklum," jawab saya malas.
Suami saya tertawa kecil. "Jangan jadikan itu sebagai justifikasi, dong. Masa semua orang kamu marahin, terus dengan gampangnya bilang, Saya lagi PMS, harap maklum, ya! Enggak boleh, dong. Harus bisa kamu atasi."
"Iiih, enggak percaya banget, sih. Kalau lagi PMS, perempuan memang begitu. Mudah tersinggung, marah, sakit perut, lemas ... enggak bisa dihilangin!" Saya sebal karena tidak dibelain.
 
Ya. Itulah yang terjadi setiap bulan. Saya harus berjuang mengenyahkan hal-hal negatif dari diri saya yang diakibatkan PMS. Namun, tetap saja, wajah saya jadi irit senyuman, rasa sakit tak mau hilang, dan rasa lemas membuat saya malas.
 
Malu rasanya saat Brina menyalami saya usai salat berjamaah dan berkata lembut, "Mami, kok, enggak senyum? Mulutnya beginiii ... saja." Brina memanyunkan mulut menirukan saya.
Duh, kalau sudah begitu, saya buru-buru tersenyum selebar-lebarnya dan memeluk serta menciumnya. Maafkan Mami, ya, Nak.
 
PMS memang mengganggu. Kalau hanya rasa sakit atau tak nyaman yang harus saya tanggung, tak apalah, mungkin saya masih kuat menahannya. Tetapi, kalau saya sampai mengomeli anak-anak, aduh ... saya sedih, karena mereka sangat dekat dan manja pada saya. Saya pun selalu berusaha memberikan kasih sayang yang tak berbatas kepada mereka. Dan omelan itu, selain menyakiti hati mereka, sesungguhnya juga menyakiti hati saya sebagai ibu.

Saya sendiri, jika tanda-tanda PMS sudah mulai datang, biasa melakukan beberapa hal di bawah ini untuk meminimalkan gangguan si PMS:
1. Berusaha mengontrol emosi dan menenangkan diri.
2. Menyempatkan refreshing dari pekerjaan, misalnya jalan-jalan, belanja (belanja lemari, bukan belanja dapur, hehehe), atau bertemu teman-teman.
3. Sebisa mungkin aktif bergerak, seperti berolahraga atau mengerjakan pekerjaan rumah yang lebih banyak membakar kalori.
4. Makan cokelat, biasanya mood saya jadi membaik dan sakit kepala rada berkurang setelah ngemil sebatang cokelat ukuran sedang.
5. Minum jus wortel, untuk menambah daya tahan tubuh.
6. Menghindari minum kopi, karena saya sensitif sekali dengan kopi (padahal suka banget!), bisa bikin dada berdebar-debar dan tambah sakit.
 
Tapi, kalau itu juga tidak mempan, bagaimana?
Dulu, sebelum menikah, sesekali saya terpaksa mengonsumsi obat pereda nyeri haid karena PMS saya sangat parah; tak jarang bikin saya sakit perut sampai tak bisa bangun, muntah-muntah, bahkan pernah pingsan di ruang kuliah. Tetapi, sejak melahirkan anak, PMS saya berkurang jauh dan saya tak pernah lagi minum obat.


Hm ... kalau gejala PMS sudah sangat menyiksa dan menghambat aktivitas, mungkin berkonsultasi pada dokter bisa jadi pilihan agar dilakukan pemeriksaan lebih detail. Sebagai alternatif, ramuan tradisional juga bisa dicoba. Tetapi, sebaiknya tidak terlalu tergantung pada obat-obatan atau jamu, ya. Harus dipikirkan juga efek samping jangka panjangnya.

Well, Ladies, jangan mau kalah sama PMS, ya. Yuk, bertempur melawannya![]

(Tulisan ini menjadi Pemenang Harapan III Kompasiana-Vitafem Blog Competition, Curhat Saat PMS, 2013)
d0301eea69156b6adbeca5a39dde62a9_munch_2013_02_14_220315

Stop Kitchen Nightmare dengan Modena

Biar begini-begini, suka ngasal dan nyablak, saya orangnya lumayan bersih, lho. Meskipun tanpa asisten rumah tangga dan punya seabrek pekerjaan sebagai freelancer di berbagai tempat, tak menyurutkan saya menjadi tukang bersih-bersih di rumah. Dan yang menjadi fokus utama saya selain kamar mandi adalah dapur, karena biasanya bagian ini merupakan tempat yang paling kotor di rumah.

Ketika saya masih tinggal di Jerman dan Australia, sih, tak masalah. Dapur apartemen di sana sudah oke, lengkap dengan kitchen set dan peralatan dapur modern. Kompornya pun flat, sehingga mudah dibersihkan. Saya sangat betah memasak dan selalu bersemangat membersihkan dapur saya yang bagus itu. Sampai teman-teman saya yang berkunjung terkagum-kagum dan berkomentar, Ya ampun, dapurnya bisa dibikin buat ngaca saking bersihnya!

Tapi, kitchen nightmare mulai menghantui saya begitu pindah kembali ke Aceh dan tinggal di rumah kontrakan seadanya. Saya harus memakai kompor gas portable biasa. Sebenarnya, sih, tidak apa-apa, saya tetap bisa memasak. Tetapi, selain tampilannya kurang stylish dan memakan tempat, membersihkannya juga repot banget. Saya memerlukan waktu dan tenaga lebih banyak untuk melenyapkan kotoran yang menempel; baik di bagian atas, bawah, dan dalam kompor, maupun di selangnya. Bahkan, saya sampai harus menggosoknya dengan sabut stainless steel, lho! Waduh, benar-benar jadi Upik Abu, deh, saya!

Gawatnya lagi, tak jarang saat membersihkan dapur, di bawah kompor saya menemukan bangkai cicak, kecoa, lalat, bahkan sempat jadi tempat persembunyian tikus! Huaaa ... tidaaaak! Ini tak bisa dibiarkan! Memangnya kompor saya kuburan?

Gara-gara dapur yang tidak higienis seperti itu, saya benar-benar kehilangan mood dalam memasak dan membersihkan dapur. Akhirnya, saya memutuskan untuk langganan catering saja. Tak perlu repot masuk dapur.

Tapi, ternyata catering tak menyelesaikan masalah. Justru datang masalah baru. Saya sekeluarga jadi sering terkena penyakit yang berhubungan dengan pencernaan. Kemungkinan karena masakan catering yang tak terjamin kebersihan dan kualitas bahan bakunya, ditambah lagi dengan penambahan zat-zat aditif seperti MSG dan sebagainya. Walaaah ... tambah pusing, deh, saya. Kacau-balau ... galau ... adauuuu!

Hingga suatu hari, saya berkunjung ke rumah sepupu saya dan masuk ke dapurnya yang rapi dan bersih. Melihat kompor tanam Modena yang dipakainya, saya jadi tertarik. Jujur saja, selama ini saya (karena tujuh tahun tinggal di luar negeri) tidak tahu bahwa kompor tanam tersedia di Aceh. Ternyata, Modena Indonesia telah hadir di Indonesia sejak tahun 1981, ya? Pantas saja jangkauannya sudah sampai ke Aceh. Duh, kuper-nya saya!

Akhirnya, saya bertekad, jika kelak mempunyai rumah sendiri, saya juga akan memakai kompor tanam Modena.
Smart Living

Ketika kemudian saya membangun rumah sendiri, saya mulai bergerilya mencari toko yang menjual kompor tanam Modena. Tak gampang memang, karena Banda Aceh adalah kota kecil. Saya sempat menemukan sebuah toko yang menjual kompor-kompor tanam merek lain, tapi saya tidak sreg. Ada yang modelnya lumayan, tapi harganya selangit. Ada yang murah, tapi modelnya tidak keren, belum lagi penggunaannya yang tidak praktis. Dan yang lebih parah, kalau ingin servis atau ganti suku cadang, pembeli harus pergi ke Medan karena di Banda Aceh tak tersedia.

Saya pun kembali pergi dan bertanya dari satu toko ke toko lainnya sampai kemudian saya menemukan sebuah toko yang menjual kompor tanam Modena. Melihat modelnya yang modern dan elegan, saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi, eits ... tunggu dulu. Bagaimana dengan harganya?
Saya bersorak dalam hati dan pasang wajah sumringah begitu si penjual menyebut harga kompor Modena tersebut. Ternyata, harganya jauh lebih murah dibandingkan merek-merek yang saya temukan di toko sebelumnya. Dan yang lebih penting, servis dan ganti suku cadang dapat dilakukan di Banda Aceh. Wah, rezeki saya, nih! Tanpa banyak ba-bi-bu lagi, saya langsung membeli kompor tanam Modena impian saya itu. Horeee ... akhirnya saya punya kompor tanam!

Akhirnya, ketika rumah baru saya selesai dibangun, dapur baru saya pun dilengkapi kompor tanam Modena yang cantik. Tampilan dapur saya yang sebenarnya biasa-biasa saja, kini jadi terkesan lebih eksklusif dengan hadirnya kompor Modena yang menyatu dengan meja dapur.

Tentu saja saya tidak lagi menjadi Upik Abu, melainkan berubah menjadi Cinderella. Bagaimana tidak? Tidak ada lagi, tuh, gosok-gosok kompor pakai sabut stainless steel. Tidak ada lagi selang kompor yang berkarat gara-gara sering terkena sampah dapur dan noda makanan. Dan, tentu saja tidak memberi celah bagi binatang-binatang kecil untuk bersembunyi di bawah kompor. Proses pembersihan dapur jadi lebih singkat dan mudah. Tinggal dilap dengan spons/kain yang sudah dibasahi dengan air sabun encer atau pembersih dapur khusus, beres, deh!

Meskipun rumah saya cukup besar, tetapi saya lebih suka dapur yang kecil dan ringkas agar area kotor dan berantakan di rumah tak terlalu luas. Dan, kompor tanam Modena adalah pilihan paling ideal bagi keinginan saya ini. Coba lihat dapur saya sekarang, rapi, bersih, dan stylish, kan?
 
Catering? Bye bye saja, deh! Sekarang saya rajin masak sendiri. Lebih terjamin kesehatan dan kebersihannya. Keluarga saya pun jadi lebih sehat. Bukan cuma saya, lho, yang jadi betah masak di dapur. Putra saya (11 tahun) juga senang bereksperimen di dapur. Dia rajin membuat sarapan dan snack sendiri sekaligus untuk adik-adiknya. Memang bukan masakan yang rumit-rumit; setingkat puding, roti bakar, pisang bakar, scramble egg, dan lain-lain yang gampang-gampang.

Wah, ternyata, meskipun kelihatannya canggih, tapi kompor Modena ini praktis banget penggunaannya, ya. Buktinya, putra saya yang masih kecil saja tidak mengalami kendala menggunakannya.

Kompor Modena memang top banget, deh. Memasak jadi gampang, dapur pun bersih, rapi dan cantik. Betul-betul menunjang gaya hidup modern masyarakat Indonesia dalam tiga lini kategori, yaitu cooking, cleaning & cooling. Modena senantiasa menekankan pada aspek estetika desain, kaya akan fitur yang memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pengguna (user friendly), menerapkan teknologi terkini, serta ramah lingkungan. Wow, komplet, deh!

Tidak salah saya memilih Modena karena merupakan solusi cerdas dalam menciptakan smart living dan menciptakan kualitas hidup yang lebih baik, seperti yang saya idam-idamkan. Pokoknya, saya rekomendasikan Modena bagi masyarakat Indonesia, deh, khususnya bagi ibu-ibu yang smart seperti saya, hehehe ....

Asyiknya lagi, Modena juga eksis di sosial media, lho. Klik saja link-nya: fb.me/MODENAIndonesia, fb.me/MODENACookingClub, Twitter @MODENAIndonesia, Pinterest.com/MODENAid, Youtube.com/MODENAIndonesia dan Flickr.com/MODENAIndonesia. Jadi, kita bisa sharing, bertanya, dan mendapatkan info-info terkini terkait produk-produk Modena. Eh, bisa nambah teman juga, lho. Mantap betul, ya!

Setelah merasakan nyamannya memakai produk Modena, jadi pengin, deh, punya produk-produk Modena yang lain; seperti oven, microwave, kulkas, dan banyak lagi seperti gambar-gambar di bawah ini:
Wuih ... keren-keren banget, kan? Mudah-mudahan impian saya kesampaian, ya, biar dapur saya makin bling-bling dengan produk-produk Modena. Dan kitchen nightmare? No more! []

(Tulisan ini menjadi pemenang II Blog Contest My Story with Modena, 2012)
e0fdf972b949f2c5949054b887442f5c_modena2