http://www.mizan.com/news_det/jungkir-balik-untuk-indonesia.html
APAKAH yang akan Anda jawab bila ada orang bertanya tentang 
seberapa cinta Anda pada Indonesia? Seberapa dalam perasaan itu? 
Pernahkah ia meluntur? Mungkin bisa jadi perasaan tak pernah tumbuh 
subur, dan malah tak pernah berkecambah sama sekali? Semua jawaban 
menjadi hak Anda. Saya hanya sekadar berusaha mempertanyakan ulang 
posisi pribadi saya di tengah masyarakat dan alam Indonesia yang konon, gemah ripah loh jinawi.
 Secara sosiologis-antropologis, saya adalah Manusia Indonesia yang 
tumbuh di pedalaman Jawa Barat-lengkap dengan atribut yang menempel dan 
mengikuti hidup saya hingga saat ini. Namun secara kultural-intelektual,
 saya menjadi besar di banyak tempat: rumah, sekolah, pesantren, kampus,
 ruang publik, kantor, masjid, pasar, jalan raya, sawah, laut, dan 
udara. Semua tempat itulah yang kini membuat saya meng-Indonesia.
Saya
 menjadi Indonesia di banyak ruang dan dengan banyak cara. Setidaknya 
saya masih beritikad baik untuk merayakan hadirnya Indonesia dalam diri 
dan hidup keseharian di tengah masyarakat. Namun, cukupkah? Tampaknya 
belum. Lantas apalagi yang harus saya dan kita lakukan? Mengingat saat 
ini negeri tercinta kita tengah terluka parah. Satu-satu halaman yang 
Anda baca sekarang tak cukup untuk mengurai benang kusut 
yang tengah melilit kita bersama. Indonesia kita pergi entah kemana. 
Kini ia hanya sekadar menjadi nama. Label belaka. Tanpa makna. Indonesia
 bahkan kehilangan ruhnya sebagai sebuah gagasan. Benar-benar menjadi imagined communities
 (masyarakat terbayangkan) sebagaimana yang dirumuskan oleh Bennedict 
Anderson. Lebih tepatnya, menjadi masyarakat yang selalu terbayangkan 
negatif karena hampir seluruh organ penyangga negeri ini sakit keras.
Kita
 sadar. Sangat lumrah. Cerita tentang pesakitan Indonesia memang sudah 
menjadi peristiwa sehari-hari. Tengok saja berita yang menghiasi 
lembaran-lembaran surat kabar setiap pagi dan sore. Isinya, hampir semua
 negatif. Kekerasan membuncah. Korupsi terus 
dirayakan. Demokrasi sakit. Politik sakit. Pendidikan sakit. Pemimpin: 
lebih sakit lagi! Indonesia tampil seolah tanpa tuan. Tak puas sampai di
 situ, coba simak penampilan-penampilan impresif di layar kaca: 
mempertontonkan kebodohan. Semua peristiwa itu menjelma menjadi grand-narrative
 yang hadir setiap waktu di relung-relung hati publik. Kehadirannya 
jelas tak kita kehendaki. Pun bertentangan dengan akal sehat. Namun, 
mereka tetap hadir dengan paksa lewat kekuatan fenomena budaya yang 
dahsyat.
Kalau begitu, masih menyakinkankah Indonesia ini? Negeri penuh paradoks.
 Barangkali sebuta yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi 
jungkir-balik Indonesia saat ini. Di satu sisi, kita menyaksikan drama 
kolosal orang-orang yang “menghajar” Indonesia beserta 
artifak-artifaknya yang artifisial. Fenomena 
devaluasi radikal tentang Indonesia merajalela di mana-mana. Di sisi 
lain, kita menyaksikan pula orang-orang yang “mengajar” Indonesia 
melalui narasi ekcil, terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Pulau Rote. Mereka dengan antusias menebar rasa optimistik
 dan positif tentang Indonesia di tengah-tengah kultur yang sedang 
sakit; membangun “kesempatan” di tengah “kesempitan”. Meskipun mereka 
mungkin baru lelengkah halu-baru tahap belajar berjalan apabila 
diibaratkan dengan seorang anak manusia. Mereka benar-benar mengabdikan 
dirinya pada-memakai istilah Anthony Giddens-“politik kehidupan” (life politics) yang berpusat pada masyarakat. Di ruang 
itulah gagasan tentang Indonesia kembali diperbincangkan. Ditanamkan. 
Kita kembali belajar menjadi Indonesia. Tak peduli apapun kondisi negeri
 ini.
Kondisi paradoks tersebut justru membuka jalan 
kecil bagi kita untuk tetap bersikap optimistik. Namun, strategi 
menumbuhkan pikiran oprimistik itu kita tempuh melalui cara yang unik: 
dekonstruksi Indonesia! Dengan menampilkan apa-adanya kondisi kebobrokan
 Indonesia, malahan membuat kita jadi melek. Ya, kita disadarkan untuk 
berpikir antisipatif sebelum Indonesia benar-benar hilang dari peta 
dunia. Semoga begitu. Apalagi kebobrokan itu dilukiskan dalam bentuk 
tema sederhana yang cukup beragam dengan cara solilokui, marah, parodi,
 dan olah pikir. Sesekali kita diajak tertawa, jengkel, sedih, dan 
berpikir sekaligus. Namun, itu semua mengkristal pada satu kata: 
kerinduan akan Indonesia yang lebih bermartabat. Dari dekonstruksi ke 
rekonstruksi. Barangkali itulah benang merah buku ini.
*** 
Sebagai
 sebuah tawaran, lagi-lagi saya hanya sekadar ingin melengkapi kekuatan 
buku ini. Tak lebih. Caranya mudah saja. Mari kita sama-sama 
menekurinya. Pertama, saya Manusia Indonesia yang berdarah asli Sunda. 
Lahir dan tumbuh di tatar Sunda, lalu besar di Ibukota. Benarkah saya 
murni Sunda? Tidak. Dari segi kesenian saja, Sunda sudah terpengaruh 
banyak budaya luar, misalnya dari Tiongkok (Cina). Alam pikir saya jelas
 sudah tercampur dengan alam pemikiran budaya dan bangsa lain. Uniknya, 
percampuran itu malah menjadi Indonesia. Dalam gagasan kebangsaan, saya 
meng-Indonesia. Namun secara, primordial, saya kembali menjadi Sunda.
Kedua,
 kasus di atas bukan hanya terjadi pada saya. Selama dalam darah Anda 
ada rasa Indonesia, besar kemungkinan Anda juga mengalaminya. Ke mana 
pun kaki Anda melangkah di bumi ini. Bagi mereka yang sudah melanglang 
ke mancanegara, pasti pernah merasakan rindu yang teramat sangat saat 
berjauhan dari Ibu Pertiwinya. Bagi yang belum pernah, jangan khawatir. 
Anda cukup melihat ada begitu banyak bangsa lebur di sini sejak dulu 
sekali-dan serta merta menjadi Indonesia. Orang Yaman yang mendarat di 
Solo, kemudian menjadi orang Solo; bangsa Portugis menjadi orang Tugu di
 Jakarta (dulu Batavia). Bahkan ada yang lebih unik: orang Jawa yang di 
Pulau Jawa dan orang Jawa di Pulau Sumatera, ternyata bukan Jawa yang 
sama. Inilah yang membuat negeri kita unik bukan kepalang. Keunikan ini 
pula yang membuat negeri kita terus bertahan dari segala gempuran zaman.
 Sejarah telah membuktikannya.
Sebobrok-bobroknya
 Indonesia, ya tetap rumah kita juga. Kita tak mungkin tinggal diam dan 
tak peduli. Setidaknya, sebuah cara sederhana harus dipikirkan untuk 
melakukan perbaikan. Sedikit-banyak kita harus mulai menabung bukan? 
Saya lebih suka menyebutnya sebagai tabungan positif. Bila pemimpin kita
 tak lagi bisa diandalkan dan dipercaya, marilah mulai 
mengandalkan-mempercayai diri sediri demi melakukan sedikit perubahan (law of attraction).
 Mudahnya, jika sejuta orang Indonesia memakai pola penalaran seperti 
itu, dapatkah Anda bayangkan seperti apa efeknya dalam kehidupan 
bernegara kita? Inilah cara ketiga yang bisa diterapkan bersama-sama dan
 serentak.Kehadiran buku “Indonesia Jungkir Balik” ini—yang di
 dalamnya terdapat buah pena bermutu dari Beby Haryanti, Iwok Abqary, 
Boim Lebon, Bre Redana, Prie GS, Edhie Prayitno, Ainun Chomsun, Adhitya 
Mulya. Yusran Darmawan, dan Fahd Djibran—adalah sebentuk upaya kecil nan sederhana,
 tetapi berefek besar. Sepuluh penulis terpilih itu, berasal dari 
disiplin ilmu berbeda dengan kompleksitas hidupnya masing-masing. 
Seperti juga kita yang terus pontang-panting, lintang-pukang, 
jungkir-balik dari hari ke hari, sepuluh penulis kita itu juga telah 
melakukan hal yang sama. Akrobatik pikiran mereka, berhasil 
menjungkirbalikkan pemahaman saya tentang Indonesia sebagai sebuah lokus
 pikiran dan gagasan; Sebuah negeri dan Negara; Sekumpulan manusia yang 
berinisiatif untuk hidup bersama dalam kejamakan yang satu. Mari 
bergegas menyambut fajar Indonesia Baru. Selamat membaca.(***)
*Deden Ridwan. CEO Noura Books, penggiat konten dan buku.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar