Sabtu, 06 Juli 2013

Resensi "Indonesia Jungkir Balik" by Deden Ridwan

http://www.mizan.com/news_det/jungkir-balik-untuk-indonesia.html

APAKAH yang akan Anda jawab bila ada orang bertanya tentang seberapa cinta Anda pada Indonesia? Seberapa dalam perasaan itu? Pernahkah ia meluntur? Mungkin bisa jadi perasaan tak pernah tumbuh subur, dan malah tak pernah berkecambah sama sekali? Semua jawaban menjadi hak Anda. Saya hanya sekadar berusaha mempertanyakan ulang posisi pribadi saya di tengah masyarakat dan alam Indonesia yang konon, gemah ripah loh jinawi. Secara sosiologis-antropologis, saya adalah Manusia Indonesia yang tumbuh di pedalaman Jawa Barat-lengkap dengan atribut yang menempel dan mengikuti hidup saya hingga saat ini. Namun secara kultural-intelektual, saya menjadi besar di banyak tempat: rumah, sekolah, pesantren, kampus, ruang publik, kantor, masjid, pasar, jalan raya, sawah, laut, dan udara. Semua tempat itulah yang kini membuat saya meng-Indonesia.
Saya menjadi Indonesia di banyak ruang dan dengan banyak cara. Setidaknya saya masih beritikad baik untuk merayakan hadirnya Indonesia dalam diri dan hidup keseharian di tengah masyarakat. Namun, cukupkah? Tampaknya belum. Lantas apalagi yang harus saya dan kita lakukan? Mengingat saat ini negeri tercinta kita tengah terluka parah. Satu-satu halaman yang Anda baca sekarang tak cukup untuk mengurai benang kusut yang tengah melilit kita bersama. Indonesia kita pergi entah kemana. Kini ia hanya sekadar menjadi nama. Label belaka. Tanpa makna. Indonesia bahkan kehilangan ruhnya sebagai sebuah gagasan. Benar-benar menjadi imagined communities (masyarakat terbayangkan) sebagaimana yang dirumuskan oleh Bennedict Anderson. Lebih tepatnya, menjadi masyarakat yang selalu terbayangkan negatif karena hampir seluruh organ penyangga negeri ini sakit keras.
Kita sadar. Sangat lumrah. Cerita tentang pesakitan Indonesia memang sudah menjadi peristiwa sehari-hari. Tengok saja berita yang menghiasi lembaran-lembaran surat kabar setiap pagi dan sore. Isinya, hampir semua negatif. Kekerasan membuncah. Korupsi terus dirayakan. Demokrasi sakit. Politik sakit. Pendidikan sakit. Pemimpin: lebih sakit lagi! Indonesia tampil seolah tanpa tuan. Tak puas sampai di situ, coba simak penampilan-penampilan impresif di layar kaca: mempertontonkan kebodohan. Semua peristiwa itu menjelma menjadi grand-narrative yang hadir setiap waktu di relung-relung hati publik. Kehadirannya jelas tak kita kehendaki. Pun bertentangan dengan akal sehat. Namun, mereka tetap hadir dengan paksa lewat kekuatan fenomena budaya yang dahsyat.
Kalau begitu, masih menyakinkankah Indonesia ini? Negeri penuh paradoks. Barangkali sebuta yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi jungkir-balik Indonesia saat ini. Di satu sisi, kita menyaksikan drama kolosal orang-orang yang “menghajar” Indonesia beserta artifak-artifaknya yang artifisial. Fenomena devaluasi radikal tentang Indonesia merajalela di mana-mana. Di sisi lain, kita menyaksikan pula orang-orang yang “mengajar” Indonesia melalui narasi ekcil, terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Pulau Rote. Mereka dengan antusias menebar rasa optimistik dan positif tentang Indonesia di tengah-tengah kultur yang sedang sakit; membangun “kesempatan” di tengah “kesempitan”. Meskipun mereka mungkin baru lelengkah halu-baru tahap belajar berjalan apabila diibaratkan dengan seorang anak manusia. Mereka benar-benar mengabdikan dirinya pada-memakai istilah Anthony Giddens-“politik kehidupan” (life politics) yang berpusat pada masyarakat. Di ruang itulah gagasan tentang Indonesia kembali diperbincangkan. Ditanamkan. Kita kembali belajar menjadi Indonesia. Tak peduli apapun kondisi negeri ini.
Kondisi paradoks tersebut justru membuka jalan kecil bagi kita untuk tetap bersikap optimistik. Namun, strategi menumbuhkan pikiran oprimistik itu kita tempuh melalui cara yang unik: dekonstruksi Indonesia! Dengan menampilkan apa-adanya kondisi kebobrokan Indonesia, malahan membuat kita jadi melek. Ya, kita disadarkan untuk berpikir antisipatif sebelum Indonesia benar-benar hilang dari peta dunia. Semoga begitu. Apalagi kebobrokan itu dilukiskan dalam bentuk tema sederhana yang cukup beragam dengan cara solilokui, marah, parodi, dan olah pikir. Sesekali kita diajak tertawa, jengkel, sedih, dan berpikir sekaligus. Namun, itu semua mengkristal pada satu kata: kerinduan akan Indonesia yang lebih bermartabat. Dari dekonstruksi ke rekonstruksi. Barangkali itulah benang merah buku ini.
***
Sebagai sebuah tawaran, lagi-lagi saya hanya sekadar ingin melengkapi kekuatan buku ini. Tak lebih. Caranya mudah saja. Mari kita sama-sama menekurinya. Pertama, saya Manusia Indonesia yang berdarah asli Sunda. Lahir dan tumbuh di tatar Sunda, lalu besar di Ibukota. Benarkah saya murni Sunda? Tidak. Dari segi kesenian saja, Sunda sudah terpengaruh banyak budaya luar, misalnya dari Tiongkok (Cina). Alam pikir saya jelas sudah tercampur dengan alam pemikiran budaya dan bangsa lain. Uniknya, percampuran itu malah menjadi Indonesia. Dalam gagasan kebangsaan, saya meng-Indonesia. Namun secara, primordial, saya kembali menjadi Sunda.
Kedua, kasus di atas bukan hanya terjadi pada saya. Selama dalam darah Anda ada rasa Indonesia, besar kemungkinan Anda juga mengalaminya. Ke mana pun kaki Anda melangkah di bumi ini. Bagi mereka yang sudah melanglang ke mancanegara, pasti pernah merasakan rindu yang teramat sangat saat berjauhan dari Ibu Pertiwinya. Bagi yang belum pernah, jangan khawatir. Anda cukup melihat ada begitu banyak bangsa lebur di sini sejak dulu sekali-dan serta merta menjadi Indonesia. Orang Yaman yang mendarat di Solo, kemudian menjadi orang Solo; bangsa Portugis menjadi orang Tugu di Jakarta (dulu Batavia). Bahkan ada yang lebih unik: orang Jawa yang di Pulau Jawa dan orang Jawa di Pulau Sumatera, ternyata bukan Jawa yang sama. Inilah yang membuat negeri kita unik bukan kepalang. Keunikan ini pula yang membuat negeri kita terus bertahan dari segala gempuran zaman. Sejarah telah membuktikannya.

Sebobrok-bobroknya Indonesia, ya tetap rumah kita juga. Kita tak mungkin tinggal diam dan tak peduli. Setidaknya, sebuah cara sederhana harus dipikirkan untuk melakukan perbaikan. Sedikit-banyak kita harus mulai menabung bukan? Saya lebih suka menyebutnya sebagai tabungan positif. Bila pemimpin kita tak lagi bisa diandalkan dan dipercaya, marilah mulai mengandalkan-mempercayai diri sediri demi melakukan sedikit perubahan (law of attraction). Mudahnya, jika sejuta orang Indonesia memakai pola penalaran seperti itu, dapatkah Anda bayangkan seperti apa efeknya dalam kehidupan bernegara kita? Inilah cara ketiga yang bisa diterapkan bersama-sama dan serentak.Kehadiran buku “Indonesia Jungkir Balik” ini—yang di dalamnya terdapat buah pena bermutu dari Beby Haryanti, Iwok Abqary, Boim Lebon, Bre Redana, Prie GS, Edhie Prayitno, Ainun Chomsun, Adhitya Mulya. Yusran Darmawan, dan Fahd Djibran—adalah sebentuk upaya kecil nan sederhana, tetapi berefek besar. Sepuluh penulis terpilih itu, berasal dari disiplin ilmu berbeda dengan kompleksitas hidupnya masing-masing. Seperti juga kita yang terus pontang-panting, lintang-pukang, jungkir-balik dari hari ke hari, sepuluh penulis kita itu juga telah melakukan hal yang sama. Akrobatik pikiran mereka, berhasil menjungkirbalikkan pemahaman saya tentang Indonesia sebagai sebuah lokus pikiran dan gagasan; Sebuah negeri dan Negara; Sekumpulan manusia yang berinisiatif untuk hidup bersama dalam kejamakan yang satu. Mari bergegas menyambut fajar Indonesia Baru. Selamat membaca.(***)
*Deden Ridwan. CEO Noura Books, penggiat konten dan buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar