Disadari atau tidak, kita sering berangan-angan, bermimpi, berkhayal
tentang hal-hal yang kita inginkan. Demikian pula saya. Ingin punya ini
punya itu, ingin jadi ini jadi itu, ingin pergi ke sana ke situ.
Berangan-angan enggak bayar, gitu loh!
Namun, tanpa kita sadari, ketika kita berangan-angan, sesungguhnya
kita sedang berusaha ke arah situ, kepada hal-hal yang kita inginkan.
Kita melakukan sesuatu sedikit demi sedikit demi mencapainya. Kita
berbuat. Kita belajar. Kita berusaha menggenggam impian itu dengan kuat
dan suatu ketika membebaskannya dalam bentuk nyata.
Ketika kecil SD - SMP, saya berkhayal menjadi penulis. Meskipun saya
merasa itu mustahil buat saya, anak desa dengan segala keterbatasannya.
Namun saya tetap bersemangat membaca, membuat cerpen, komik, puisi,
menulis diari, menabung untuk membeli buku, dan sebagainya. Buat saya
saat itu, karya-karya saya sangat luar biasa. Saya bangga!
Kebanggan itu membuat saya berani berbagi kepada teman dan
saudara-saudara saya. Saya menawarkan cerpen, puisi, komik yang saya
tulis untuk dibaca oleh mereka. Beberapa teman merasa senang membacanya,
membuat semangat saya meletup-letup. Namun, sebuah cibiran dari seorang
saudara saya, membuat impian saya seolah runtuh. Saya down ... dan
malu. Sangat malu. Dan saya pun berhenti menulis.Ya, sesekali saya masih
suka menulis puisi jika sedang suntuk, tapi hanya untuk dibaca sendiri.
Yang lainnya, tak pernah lagi. Saya benar-benar melupakan impian saya
menjadi penulis.
Impian saya kembali muncul ketika saya sudah berumur 32 tahun. Lewat
blog saya berkenalan dengan Asma Nadia dan lolos dalam audisi menulis
yang beliau adakan. Nama saya pun tertera sebagai salah seorang
kontributor bukunya di tahun 2006. Sejak itu saya mulai kembali merajut
mimpi saya yang pernah terkoyak. Saya belajar menulis lagi, hal yang
sudah belasan tahun tak pernah lagi saya lakukan. Saya seperti orang
yang kehausan ilmu menulis dan sibuk belajar, baik secara otodidak
maupun "mengejar" ilmu dari Asma Nadia dan Benny Rhamdani, dua orang
penting dalam perjalanan karier menulis saya. Dan alhamdulillah ...
beginilah saya sekarang. Menjadi seorang penulis dengan beberapa judul buku
yang sudah diterbitkan berbagai penerbit nasional.
Desember 2007, secara tak sengaja saya menorehkan komentar di blog
Benny Rhamdani, "Saya pengen jadi editor, Bhai."
Itulah mimpi saya
selanjutnya. Meskipun saat itu saya belum menulis buku sendiri, hanya
antologi-antologi yang hitungannya tak habis dalam jari sebelah tangan,
tapi saya punya angan-angan yang jauh melampaui kemampuan saya saat itu.
Yang saya lakukan setelah itu? Saya belajar dan terus belajar
memperbaiki tulisan saya, baik dari segi kualitas menulis maupun tata
bahasanya. Bukan karena saya ingin menjadi editor, tetapi saya merasa,
sebagai penulis saya memang harus meningkatkan kualitas diri dan naskah
saya.
Desember 2010, secara tak sengaja saya membaca status YM seorang editor buku anak Penerbit Mizan, Dadan Ramadhan. Editor freelance, di manakah gerangan? Saya
merasa tergelitik. Saya pikir, Mizan pasti sangat membutuhkan editor
freelance, sampai-sampai diumumkan seperti itu. Saya memang belum
mempunyai pengalaman editing, tapi impian saya seolah menggiring saya
untuk menyapa sang editor tersebut.
"Di sini," tulis saya.
"Di mana editor freelance-nya?" sambutnya penasaran.
"Ya di sini. Saya pengen jadi editor, Kang."
"Oooh. Udah terbiasa ngedit, kan? Bisa bikin rapi, kan?"
Aduh ... pertanyaannya membuat saya keder. Lalu dengan menahan malu saya balas, "Belum, Kang."
"Yeee!"
"Kalo boleh, saya mohon dites, Kang. Kalau pantas, alhamdulillah. Kalo enggak, ya enggak apa-apa. Namanya juga nyoba."
Mungkin karena kepepet, sang editor pun setuju. Saya pun diberi
naskah dari penulis cilik yang tulisannya amburadul. Ampuuun! Saya
bengong. Beginikah kerja seorang editor? pikir saya. Tapi saya
tetap memantapkan hati.
Hari itu juga, saya pergi ke toko buku dan
membeli buku-buku tentang tata bahasa Indonesia serta Kamus Besar Bahasa
Indonesia sebagai "perangkat perang" dalam mengedit. Ya, saya mengedit
sambil belajar. Hampir dalam setiap kata yang saya baca dan edit,
terlebih dahulu saya harus membuka kamus atau buku-buku tersebut.
Pengeditan pun berjalan lambat, namun deadline masih terkejar. Tak
disangka, sang editor bilang, editan saya "sudah oke". Ini artinya, tak
sempurna, tapi ya ... bolehlah, daripada enggak ada. :D
Sampai sekarang, sudah 3 tahun saya menjadi editor lepas, di
Penerbit Mizan, Penerbit Noura Books, dan Penerbitan Pelangi Indonesia. Dan tentunya, acara buka
kamus dan buka buku semakin hari semakin dapat dikurangi. Editan yang
dulu saya kerjakan sampai berhari-hari, sekarang dapat saya selesaikan
dalam hitungan jam saja. Alhamdulillah ... ilmu yang baik selalu
menuntun ke arah yang baik pula.
Angan-angan saya selanjutnya adalah saya ingin dapat berbicara dengan
luwes di depan publik agar saya bisa membagi ilmu penulisan yang saya
miliki. Ya, saya bukan pembicara unggul. Bahkan, setiap kali berbicara
di depan publik, meskipun dalam skala kecil; saya gemetar, panas dingin,
berdebar-debar, dan lidah terasa kelu. Itu sebabnya, saya--meskipun
sudah menulis beberapa judul buku--hampir tak pernah maju sebagai
pembicara di event-event penulisan. Hingga teman-teman di FLP Aceh
sering menyesalkan, karena saya tak mau (tepatnya tak bisa) membagi ilmu
saya di depan khalayak.
Meskipun demikian, saya tetap berusaha melenyapkan perasaan tak
nyaman itu. Sesekali saya memenuhi undangan memberi materi penulisan,
walaupun tetap saya belum mampu mengusir rasa grogi itu. Saya selalu
bertekad, "penulis harus bisa bicara di depan publik!"
Akhirnya, saya kembali berguru pada Benny Rhamdani. Jauh-jauh saya
terbang ke Bekasi untuk mengikuti pelatihan Writers for Trainers untuk
dapat menjadi seorang trainer penulisan sejati. Saya tak tahu persis
ilmu apa yang diberikan oleh guru saya tersebut, karena sepulang dari
pelatihan, saya merasa percaya diri luar biasa untuk menjadi seorang
trainer. Ditambah lagi dengan bimbingan online dan support yang tak
putus-putus di Grup Writers for Trainers, baik dari Kang Benny dan
teman-teman alumni WfT yang tergabung dalam Galeri Pelatihan Menulis
Kelas Ajaib, saya seperti mendapat "tembok penahan grogi" yang bisa
dipasangkan di wajah saya kapan saja.
Setelah mendapat ilmu dari pelatihan WfT, saya mulai percaya diri
untuk berbicara di depan publik dalam membagi ilmu penulisan saya. Saya
mulai senang menerima tawaran mengisi acara-acara penulisan--yang
dulunya hampir selalu saya hindari. Dan alhamdulillah ... kini saya
sudah memiliki kelas menulis sendiri, Kelas Kreatif: Kelas Menulis Keren
dan Aktif, yang untuk saat ini berfokus pada peningkatan kualitas
menulis anak-anak Aceh. Saya berangan-angan bisa mencetak
penulis-penulis cilik dari Aceh untuk berkiprah di dunia perbukuan
Indonesia. Amiiin.
Mimpi saya selanjutnya adalah saya ingin bisa pergi berhaji dan ke
luar negeri dengan ilmu penulisan yang saya miliki. Memang saya pernah
tinggal di luar negeri selama tujuh tahun, Jerman dan Australia, tetapi
itu karena ikut suami yang studi di sana. Istilahnya, saya nebeng.
Sekarang saya ingin mandiri, bisa ke luar negeri atas jerih payah
sendiri.
Apakah mimpi saya akan terkabul lagi? Saya menunggu ... dan berusaha .... :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar