Bosan dengan tempat wisata yang itu-itu saja di seputaran Banda Aceh,
hari ini saya dan keluarga mencoba lokasi wisata yang agak jauh, Taman
Rekreasi Islami Suhom, di Desa Krueng Kala Kecamatan Lhoong Aceh Besar.
Fokus dari taman rekreasi ini adalah Air Terjun Krueng Kala setinggi dua
puluh meter yang tumpah dari atas perbukitan.
Perjalanan
menuju Kecamatan Lhoong ini memakan waktu kira-kira 1,5 jam bermobil
dari pusat kota Banda Aceh dan lumayan bikin deg-degan. Pasalnya, kami
harus melewati dua pegunungan untuk mencapainya, yakni Pegunungan Paro
dan Pegunungan Kulu. Jalan menanjak, menurun, dan berliku tajam pun
menemani kami sepanjang perjalanan, dimulai dari beberapa kilometer
setelah Pantai Lhok Nga, Aceh Besar.
Jurang
yang sangat dalam di sebelah kanan atau kiri, serta tebing gunung
berbatu yang kerap longsor saat musim hujan, membuat kami sering memekik
dan menahan napas ketakutan. Terutama anak perempuan saya, Brina. Dia
mengaku stres naik turun gunung. Tapi bagi dua anak laki-laki saya,
perjalanan ini malah sangat seru dan mengasyikkan.
"Seperti naik roller coaster!"
kata mereka. Terlebih, banyak sekali monyet liar yang berkeliaran atau
nongkrong di atas pembatas jalan yang tentunya memberi hiburan
tersendiri bagi mereka.
Di
tengah perjalanan, kami berhenti untuk membeli nasi bungkus di sebuah
rumah makan di pinggir jalan. Kalau berwisata, saya memang suka yang
praktis-praktis saja, tak perlu repot masak bekal dan cuci perangkat
sepulangnya. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan. Tak terlalu sulit
menemukan lokasi wisata air terjun ini karena tanda-tanda penunjuk jalan
cukup jelas.
Pukul
12.45, kami tiba di lokasi. Setelah membayar tiket masuk Rp2.000,00 per
orang, kami langsung dihampiri oleh seorang ibu yang menyewakan tikar
dengan harga Rp10.000,00 per lembarnya. Kami menyewa dua lembar tikar
agar lebih leluasa, lalu memilih lokasi di bawah sebuah pohon besar.
Karena hari telah siang, kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu.
Sambil menikmati keindahan panorama alam sekitar, kami menyantap nasi
bungkus dengan lauk gulai ayam kampung khas Aceh Besar yang lezat. Usai
makan, kami menuju musala yang ada di sana untuk melaksanakan salat
Zuhur.
Terdapat
empat buah kamar mandi umum yang kondisinya lumayan bersih di dekat
musala sehingga memudahkan kami berwudu. Sekali masuk kamar mandi ini,
kami harus membayar Rp2.000,00 per orang.
Sekarang,
tiba saatnya mandi. Wah, segarnya! Airnya dingin, khas air pegunungan.
Ini adalah pertama kalinya keluarga saya berekreasi mandi di sungai.
Biasanya kami lebih sering ke laut yang lokasinya lebih dekat. Saya
sendiri tidak begitu suka pergi ke laut karena cuacanya panas, badan
gatal dan lengket setelah mandi di laut, dan sepulangnya pasti membawa
pasir. Repot sekali membersihkan pasir yang lengket pada pakaian.
Awalnya, anak bungsu saya, Geunta, merengek meminta ke laut dan tidak mau ke air terjun.
"Nanti
Geunta nggak bisa mandi. Kan, sungainya dalam," alasannya. Setelah
diyakinkan bahwa dia bisa mandi di sungai, akhirnya dia setuju.
Karena
belum pernah melihat air terjun dan mandi di sungai, anak-anak sangat
antusias dan gembira. Apalagi mereka dibolehkan menyewa pelampung bebek
seharga Rp10.000,00 per pelampung, bertambah senanglah mereka bermain
air. Meskipun mereka sudah tampak kedinginan, tapi mereka tetap ngotot
berenang. Saya dan suami bergantian masuk ke air untuk mengawasi sambil
bermain bersama mereka.
Tempat
pemandian sudah dibuat sedemikian rupa agar anak-anak dapat berenang
dengan aman. Anak-anak atau orang dewasa yang tidak pandai berenang
dilarang mendekati daerah kolam di bawah air terjun karena airnya sangat
dalam. Sayang, saya tak bisa berenang, sehingga saya hanya bisa
menyaksikan bagaimana serunya orang-orang terjun dari atas batu/tebing
yang tinggi ke dalam kolam di dekat air terjun.
Kami
sangat penasaran dengan tempat asal air terjun itu dan sebenarnya ada
jalan bertangga untuk naik ke atas perbukitan untuk melihatnya.
Sayangnya, entah kenapa, ada papan pengumuman yang menyatakan bahwa
wanita dilarang naik ke atas sana. Akhirnya, kami terpaksa mengurungkan
niat untuk naik ke bukit.
"Hm ... diskriminatif sekali, Dek!" goda suami saya sambil tertawa.
Dua
jam mandi di sungai kiranya belum cukup bagi anak-anak. Mereka masih
betah dan tak mau pulang. Tapi waktu tak memungkinkan untuk berdiam di
sana lebih lama. Bayangan perjalanan melewati dua pegunungan yang
menyeramkan tadi membuat kami memutuskan untuk buru-buru pulang sebelum
hari gelap. Setelah beres-beres dan membersihkan diri, kami pun keluar
dari lokasi wisata Air Terjun Krueng Kala. Meskipun harus cepat pulang,
tetapi anak-anak tetap tampak puas. Mereka berharap kapan-kapan bisa datang ke sana lagi.
Sayangnya,
kami pergi bukan di saat musim durian. Padahal durian Lhoong sudah
terkenal nikmatnya. Di musim durian, banyak penjual durian yang
menjajakan durian mereka di sepanjang perjalanan menuju air terjun.
Tapi, kalaupun saat ini musim durian, saya tak yakin diizinkan membawa
pulang durian oleh para laki-laki di keluarga saya. Mereka pasti akan
protes karena tak tahan dengan baunya. Hanya saya dan Brina yang
menyukai durian sehingga kerap didiskriminasi oleh mereka. :D
Ternyata,
perjalanan pulang tak terasa semendebarkan perjalanan pergi tadi.
Mungkin karena kami sudah mengetahui kondisi jalan sehingga tidak
terkaget-kaget lagi seperti awalnya.
Dalam
perjalanan, satu per satu anak saya tertidur lelap karena kelelahan
bermain air. Rasa lega dan senang tebersit di hati saya karena hari ini
telah berhasil memberikan sedikit kebahagiaan dan pengalaman baru bagi
mereka, buah hati saya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar