Jumat, 05 Juli 2013

Menulis Fiksi Tanpa Menggurui (Laporan dari Inaugurasi FLP Aceh 2013)

Fiksi dakwah menggurui? Cape, deeeh!
Banyak orang sadar bahwa dirinya telah berbuat salah, tetapi tidak terima, berkilah, atau malah melawan jika disalahkan. Nah, salah satu guna fiksi dakwah adalah menyentuh hati pembacanya agar tergerak untuk mengoreksi dan memperbaiki diri tanpa merasa disalahkan atau dipermalukan. Istilah singkatnya "menyentil lewat cerita".

Berdakwah secara halus, inilah yang selalu saya tekankan kepada anggota baru FLP Aceh dalam mengisi materi awal kepenulisan di acara Inaugurasi FLP Aceh 2013. Bahwa salah satu misi FLP adalah menyampaikan dakwah melalui tulisan, itu semua anggota FLP tentu sudah tahu. Tetapi, bagaimana meramu sebuah tulisan yang mengusung nilai-nilai dakwah tanpa kesan menggurui, ini yang masih harus dipelajari oleh para anggota baru, bahkan juga sebagian anggota lama FLP, terutama untuk wilayah Aceh.

Materi yang saya sampaikan dalam acara yang dilaksanakan di Lubuk, Aceh Besar, Minggu 24 Februari 2013 ini berjudul Teknik Menulis Fiksi: Tuliskan Khayalanmu. Karena pelatihan ini ditujukan bagi FLPers, maka saya mengkhususkan isinya untuk kebutuhan menulis para FLPers pula.
Penyampaian Materi
Penyampaian Materi
Selain memaparkan teknik-teknik menulis cerita secara mudah dan terstruktur, saya juga berbagi tips untuk menyelipkan dakwah secara tidak terang-terangan. Ini bukan menyarankan agar FLPers takut untuk berdakwah secara langsung, tetapi sejatinya sebuah cerita merupakan salah satu bentuk hiburan yang ingin dinikmati pembacanya. Kalau tidak, kenapa tidak membaca buku pelajaran saja?

Apa pun, yang menjadi tujuan utama menulis bagi FLPers adalah menebar kebaikan bagi pembacanya. Untuk itu, agar tidak menggurui, pesan-pesan dakwah itu dapat disampaikan melalui:
- Tokoh, bukan penulisnya. Ini bisa dilakukan lewat apa yang diucapkan/dipikirkan/dilakukan/dipakai/disukai tokoh, dll. Menjelaskan panjang lebar definisi ini-itu, ayat-ayat, pesan-pesan sponsor, atau ilmu yang dikuasai penulis dalam deskripsi bukanlah pilihan yang bijak. Sebaliknya, penulis dituntut untuk pintar-pintar menyelipkan isi tersebut lewat tokohnya.
- Jalan cerita, bukan verbal. Dialog yang penuh berisi ayat, hadis, dan pesan-pesan secara gamblang, cenderung membosankan pembaca. Lewat jalan cerita yang diramu sedemikian rupa, pembaca akan memetik hikmahnya tanpa merasa telah didakwahi. Biarkan pembaca merasa tersentuh, tergugah, tersentil, atau tertohok lewat jalan cerita.
- Karakter tokoh sesuai tuntutan cerita. Apakah ada karakter yang terkesan hanya sebagai tempelan? Hati-hati memaksakan munculnya sebuah karakter yang "nggak nyambung" dengan jalan cerita hanya untuk menghadirkan dakwah. Dakwah tak selalu harus disampaikan melalui karakter ustaz/haji/ulama.
- Dan terakhir, singkirkan cerita yang tidak perlu. Menambah-nambah cerita/dakwah yang tidak dibutuhkan oleh jalan cerita, apalagi kalau tujuannya hanya untuk memperbanyak halaman, hanya akan membuat cerita berjalan lambat dan bertele-tele. Pembaca akan melompati bagian itu atau menyesal telah menghabiskan waktu untuk membaca potongan cerita "nggak penting" tersebut. Bagaimana kita tahu bahwa bagian cerita itu tidak penting? Cut, dan baca ulang keseluruhan naskah. Kalau cerita Anda terbaca baik-baik saja alias bagian tadi tidak memengaruhi keutuhan cerita, berarti yang Anda cut tadi memang tidak mendukung jalannya cerita.

Saya juga menjelaskan bahwa yang disebut sebagai cerita islami itu tak melulu menceritakan seputar jilbab, masjid, akhwat, ikhwan, ustaz, dan lain-lain yang jelas-jelas berlabel Islam. Yang penting, apa yang ditulis itu mengandung nilai-nilai kebaikan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Boleh-boleh saja menulis tentang narkoba, misalnya, tetapi bukan dalam konteks menganjurkan atau mengajari pembaca untuk memakai narkoba, melainkan menggiring opini pembaca agar menyetujui bahwa narkoba itu tidak baik atau bertentangan dengan ajaran Islam.

Selain memberikan teori, saya juga memberikan latihan bagi anggota baru FLPers peserta inaugurasi ini. Misalnya, untuk mendalami materi setting, saya membagi mereka dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok diminta untuk menuliskan bagaimana/apa yang terjadi/apa yang dirasakan ketika mereka berada dalam sebuah kolam renang/kolam bola/kolam susu/kolam lumpur/kolam anggur. Anehnya, sebagian peserta menuliskan kejadian tersebut ketika seolah-olah tenggelam dalam kolam. Padahal, banyak yang bisa dieksplorasi di luar itu tanpa harus tenggelam dulu.

Saya juga melatih peserta membuat outline cerita berdasarkan story triangle yang saya kutip dari buku Creative Writing karya Laurie E. Rozakis. Sesi ini berlangsung seru karena peserta harus bisa menulis outline dengan jumlah kata yang sangat terbatas. Apalagi hasilnya langsung saya review di tempat.
Sesi Tanya Jawab
Sesi Tanya Jawab
Saya terkesan dengan antusiasme para peserta ini. Terbukti, mereka banyak mengajukan pertanyaan dalam sesi tanya jawab, sampai-sampai waktunya harus ditambah, dan itu pun masih banyak peserta yang tidak kebagian kesempatan untuk bertanya. Apalagi ada peserta yang berkomentar, "Kak, materinya bintang lima!" atau "Kak, kami belum pernah mendapat materi selengkap ini!"

Wah, alhamdulillah.

Bagi seorang pemateri seperti saya, semangat peserta dalam merespons secara positif apa yang saya sampaikan itu merupakan kepuasan tak ternilai. Itulah yang membuat saya kini semakin senang untuk berbagi ilmu. Ilmu yang dibagi itu akan semakin bertambah berlipat-lipat, baik bagi diri sendiri, maupun manfaatnya bagi orang lain. So, tak perlu menjadi penulis kawakan dulu untuk berbagi ilmu, kan?

Di akhir pelatihan, saya membagi-bagikan stiker dan pin Kelas Kreatif, Kelas Menulis Keren dan Aktif yang saya bina, kepada para peserta. Mereka tampak senang dan langsung menempelkan stiker dan menyematkan pin tersebut pada barang-barang milik mereka masing-masing.

Menulis fiksi memang merupakan keasyikan tersendiri bagi penulisnya. Ide-ide dan pesan-pesan penulis dapat dengan mudah disisipkan ke dalamnya untuk memengaruhi pembaca. Untuk itulah, FLP menggembleng anggotanya untuk menjadi penulis yang berakhlak agar tulisan-tulisan yang lahir dari tangan mereka kelak akan membawa pesan-pesan kebaikan.[Be]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar