#1
Rasa yang tak terkata
Cinta yang tak terlisan
Merenda getar siksa
Di bilah hati tertawan
“Rez ... kenapa, sih, kamu belum punya pacar?” tanya Luna
sambil menyusut bulir-bulir kristal yang mengalir dari matanya. Lalu bola mata
indah itu memandang jauh ke tengah-tengah Danau Lake Burley Griffin yang
berkilauan ditimpa hangatnya sinar mentari musim panas. Jembatan di atasnya
tampak kokoh dan megah, seolah tengah memeluk danau dengan penuh rasa
kepemilikan. Lake Burley Griffin kebanggaan kota Canberra itu sedang ramai
dengan orang-orang yang menikmati wisata air; naik kano, perahu, sepeda air,
boat, juga kapal ferry kecil yang berlayar mengitari danau. Di musim panas,
danau ini memang menjadi tujuan wisata utama kota Canberra.
Rezi yang duduk beralas rumput di sisi Luna hanya tertawa
kecil. Pandangannya tak beralih dari air mancur besar yang ada di tengah danau.
Titik-titik airnya terbang jauh terembus udara yang bergerak dan membiaskan
pelangi ketika bertemu sinar matahari. Luar biasa indahnya.
“Kamu yang punya pacar saja sebentar-sebentar nangis begini
.... Jangan-jangan, aku juga akan mengecewakan gadis yang aku pacari nanti,”
jawab Rezi dengan nada bercanda. Ia menoleh ke arah Luna sambil mengerlingkan
mata.
Luna menghela napas tak puas mendengar jawaban Rezi. “Kamu,
kan, bukan Michael, Rez. Michael ... benar-benar tega sama aku ....” Bibir Luna
bergetar, matanya kembali berkaca-kaca. “Bodohnya aku bisa terpikat pada
laki-laki seperti itu ... mata keranjang!” Wajah Luna tampak memerah marah
ketika mengingat mantan kekasihnya.
Michael pemuda Australia yang sangat populer di kalangan
mahasiswi University of Canberra. Gadis mana pun akan bertekuk lutut melihat ketampanan
dan TVR Tuscan ungunya. Sulit agaknya mengikat Michael dalam sebuah komitmen
bernama cinta, karena hanya akan menorehkan luka dan kecewa.
Luna dan Michael baru putus tadi malam, setelah setahun
belakangan ini Luna mencoba berpikir lebih realistis soal kelanjutan hubungan
mereka. Dan sore ini, Luna meminta Rezi menemaninya ke tepi danau untuk sekadar
menumpahkan kegalauannya.
Sebagai sahabat, Rezi sudah menjadi langganan keluh-kesah
Luna. Perempuan belia asal Indonesia yang sudah menetap di Australia bersama
keluarganya sebagai permanent resident itu kerap “menyandera” Rezi bila sedang
menghadapi masalah. Mereka satu kampus di University of Canberra tetapi lain
jurusan. Luna tercatat sebagai mahasiswi jurusan Creative Writing di Faculty of
Art, sedangkan Rezi mendapat beasiswa dari pemerintah Australia untuk menuntut
ilmu strata 1 jurusan Enviromental Science di Faculty of Education, Science,
Technology & Mathematics. Mereka menjadi akrab sejak sering bertemu dalam
kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia Australia.
“Aku tahu, ada beberapa cewek di sini yang naksir kamu,
Rez. Masa iya, enggak ada seorang pun yang sreg di hatimu?” sambung Luna
sengaja memancing.
Rezi malah tertawa. “Kamu tahu dari mana ada cewek yang
suka sama aku? Sok tahu, ah.”
Luna mengernyitkan keningnya yang sempit dan memanyunkan
mulutnya yang mungil. Bibirnya tampak segar dan penuh dengan sapuan lipgloss
berona pink.
“Enggak usah pura-pura. Masa kamu enggak bisa baca sikap
Kasuni padamu?” protes Luna dengan menyebut nama seorang gadis India yang
cantik dan seksi, teman mereka. “Atau ... Svetlana, model Rusia itu. Lalu ...”
“Stop, stop, stop!” sergah Rezi cepat. “Kamu sedang bikin
absen? Hm ... Luna ... Luna .... Kalau ada yang cocok sama aku, pasti akan aku
gaetlah. Masa dianggurin saja?”
“Kamu sudah punya cewek idaman atau belum, sih,
sebenarnya?” desak Luna bersemangat. Rezi terkekeh melihatnya.
“Ya ... sebenarnya ada, sih ... tapi dia enggak tahu,” ungkap
Rezi sambil melirik Luna diam-diam. Mencuri-curi pandang pada Luna sudah sering
Rezi lakukan. Rezi tak ingin ketahuan bahwa dia sangat mengagumi setiap lekuk
wajah gadis berkulit putih itu.
Luna terbelalak mendengar bahwa Rezi ternyata sudah
memiliki pujaan hati. Seorang Rezi yang dinginnya setengah mati, rupanya
diam-diam telah jatuh cinta! Dongeng apa pula ini? pikirnya.
“Siapa? Siapa? Orangnya di Indonesia, ya?” kejar Luna tak
bisa menahan rasa ingin tahunya. Dia penasaran sekali. Baginya ini hal yang
sangat aneh. Karena selain dengan Luna, Rezi tak sering berinteraksi dengan
perempuan. Meskipun ramah dan enak diajak mengobrol, pembawaan Rezi yang
tipikal pemuda gila belajar membuat gadis-gadis malas mendekatinya, kecuali
mereka yang benar-benar serius menaruh hati. Padahal, menurut Luna, Rezi adalah
sosok sahabat yang menyenangkan dan bisa diandalkan. Hm ... mungkinkah sikap
dingin Rezi selama ini karena sebenarnya Rezi sudah punya tambatan hati nun
jauh di Indonesia ... seorang perempuan yang sudah bertahun-tahun ditunggunya?
Aih, mengapa Luna tak tahu?
“Ada, deh. Mau tahu saja, sih,” kata Rezi sambil tertawa.
Tulang pipinya tampak menaik, memperjelas garis wajahnya yang tampan. “Eh, mau
es krim enggak, Lun?” tawar Rezi mengalihkan pembicaraan. Luna mengangguk.
Menikmati keindahan Danau Lake Burley Griffin tak lengkap bila tanpa es krim
yang lembut dan dingin.
Dengan segera Rezi bangkit dari duduknya dan berjalan
menuju warung es krim di dekat tempat penyewaan sepeda air. Luna menunggunya dengan
gelisah sembari berusaha menikmati semilir angin yang sejuk. Untunglah sore ini
cuaca tak terlalu panas. Musim panas di Australia biasanya berlimpah matahari, sehingga
suasana menjadi begitu kering. Bahkan di puncak musim panas, rumput dan
pepohonan kering meranggas seolah-olah hangus terpanggang panas matahari. Dan
di Canberra ini, di mana populasi kanguru masih sangat banyak, itu adalah saat kanguru-kanguru
muncul di tempat-tempat yang berumput; seperti lapangan bola, playground, dan
halaman rumah orang, karena kekurangan makanan.
Tak lama kemudian, Rezi sudah kembali membawa dua cone
es krim vanila-cokelat-hazelnut. Rezi mengangsurkan salah satunya pada Luna.
“Kesukaanmu ...,” kata Rezi, lalu kembali duduk santai di samping Luna.
“Siapa nama gadismu, Rez?” tanya Luna langsung. Sejak tadi
Luna sudah tak sabar ingin menanyakan hal ini pada Rezi. Menunggu Rezi membeli
es krim, terasa sangat lama bagi Luna.
“Lho, masih penasaran? Kirain sudah lupa.” Rezi tersenyum
simpul menatap mata cantik Luna.
Luna tampak mulai sebal karena Rezi tak kunjung menjawab
pertanyaannya. “Iyalaaah. Bilangin saja kenapa, sih? Aku, kan, pengin tahu siapa
gadis yang berhasil merontokkan hatimu yang keras itu.”
“Naaah ... kamu cemburu, ya?” goda Rezi, lalu menjilat lelehan
es krim yang mulai meluap dari cone-nya.
“Cemburu?” Luna melengos
sambil membuang muka. “Impossible!”
Rezi tertawa lagi. Sepertinya dia puas sekali karena telah
berhasil membuat Luna nyaris mati penasaran. Sementara Luna gemas sekali
melihat sikap Rezi yang sengaja mengombang-ambingkan saraf ingin tahunya. Geregetannya
terasa membuncah sampai ke ubun-ubun. Tapi, Luna tak bisa berbuat apa-apa
selain berharap Rezi mau membuka rahasianya.
Yang membuat Luna merasa gerah, entah mengapa, ada semacam
perasaan tak nyaman begitu tahu Rezi menyukai seseorang. Cemburukah? Sepertinya
bukan. Mungkin itu hanya sekadar perasaan tak rela mengetahui bahwa dirinya bukan
seseorang yang menjadi prioritas Rezi. Bayangan bahwa gadis itu menguasai
seluruh hati Rezi membuat kepala Luna terasa berat. Rasanya seperti orang yang
sedang kecurian. Dan Luna ... seperti
... tak ingin gadis itu ada.
“Hei, melamun!” kejut Rezi sambil memetik jarinya di depan
hidung Luna yang bangir. Luna tersentak dengan wajah bersemu merah. “Es krimnya
cair, tuh,” sambung Rezi sambil menunjuk tangan Luna yang sudah terkena lelehan
es krim.
Luna ternganga, lalu buru-buru menjilati es krimnya secepat
mungkin, seolah berlomba dengan titik leleh es itu. Rezi tertawa-tawa melihat tingkah
Luna.
“Duuh ... lengket semua, nih. Pulang saja, yuk,” ajak Luna
sambil bangkit dari duduknya.
“Tuh, air banyak ...,” tunjuk Rezi ke arah danau yang
beriak kecil, mendapat sedikit ombak karena sebuah kano tengah bergerak
perlahan. Di tepian danau, tampak sekawanan angsa putih sedang duduk mengambang
dengan anggun.
Luna memelototi Rezi dengan mulut sedikit terbuka.
“Maksudmu, aku harus turun ke danau untuk cuci tangan, gitu?” Di bagian ini,
tepian danau tidak landai karena merupakan tempat orang berperahu, bermain
sepeda air, dan naik kapal kecil, bukan bagian yang biasa dipakai untuk mandi
dan berjemur.
“Nggak perlu turun, kali, Lun, di pinggirnya saja. Lalu
julurkan tanganmu ke air. Atau ... kamu mau ke toilet di ujung sana itu?” Rezi
mengalihkan pandangan jauh ke arah sebuah bangunan berdinding bata ekspos.
Umumnya, di Australia, dinding perumahan maupun bangunan lainnya terbuat dari
batu bata, tanpa diplester lagi.
Luna mengikuti arah pandangan Rezi, lalu berpikir sejenak
dengan mulut dimiringkan ke kiri dan ke kanan. Malas rasanya jika harus berjalan
ke toilet yang cukup jauh itu hanya untuk mencuci tangan.
“Ya sudah, deh, di danau saja,” putus Luna kemudian.
Rezi tersenyum melihat Luna berjalan pelan ke tepi danau.
Rambut Luna berkibar-kibar anggun ditiup angin. Kaki Luna sedikit berjinjit
ketika mendekati rerumputan yang tumbuh menutupi pinggiran danau. Pasti Luna
sedang menghindari kotoran angsa yang biasa tersebar di atas rumput dekat danau.
Langkah Luna semakin hati-hati menuruni tepian danau. Setelah dirasa cukup
dekat dengan air, Luna berjongkok dan menjulurkan tangannya, berusaha mencapai
air.
“Hati-hati, Luna!” Rezi mengingatkan sahabatnya itu.
Luna menarik tangannya dan menoleh sejenak ke belakang. Ia
melempar senyum tipis ke arah Rezi. Kemudian Luna berbalik dan kembali
menjulurkan tangannya ke air. Tapi ... ah ... Luna kehilangan keseimbangan.
Badannya limbung, tangannya menggapai-gapai di udara, dan kakinya meluncur
turun ke air.
“Aaah!” Luna menjerit ketakutan.
“Luna!” Seketika Rezi bangkit dan menyerbu ke arah Luna.
Namun terlambat, Luna sudah tercebur ke air. Byurrrr! Rezi serta-merta
ikut terjun ke air menyusul Luna.
Sebenarnya, tepian danau tidak dalam. Paling-paling sedada
orang dewasa. Tetapi karena Luna tidak bisa berenang, Luna panik dan bergerak
tak beraturan untuk menyelamatkan diri, yang justru membuatnya malah tak mampu
bangkit dari air.
Rezi berhasil meraih lengan Luna. Luna sempat meronta
karena merasa geraknya terhambat, tetapi begitu sadar bahwa itu adalah Rezi,
Luna melemaskan badannya dan membiarkan Rezi merengkuhnya. Mata Luna memejam
melepas rasa lega dan lelahnya, namun ia bisa merasakan tangan kekar Rezi
menggendongnya dan merebahkannya di atas rerumputan.
“Luna ... Luna ...,” panggil Rezi. Suaranya terdengar
khawatir.
Luna membuka matanya perlahan. Rezi tengah berlutut di
sampingnya. Tubuhnya condong ke arah Luna hingga wajah Rezi yang dipenuhi gurat
kecemasan jadi begitu dekat dengan Luna. Berada dalam jarak sedekat itu dengan
Rezi membuat perhatian Luna terpusat pada wajah sahabatnya itu. Rambut Rezi
yang basah membuat wajahnya tampak segar. Tampan ..., batin Luna jujur.
Entah mengapa, ada desiran hangat menjalari tubuh Luna. Ia
tak pernah merasakan sensasi rasa seperti itu sebelumnya saat dekat dengan
seseorang. Bahkan tidak juga pada Michael—sewaktu masih menjadi kekasihnya.
Hubungannya dengan Michael seolah tak terdefinisikan. Terkesan hanya Luna yang
menganggap Michael sebagai kekasih dan menaruh sejuta harap pada laki-laki
asing itu. Sedangkan Michael ... entah di ruang hati sebelah mana ia
menempatkan Luna. Karena ruang-ruang hati Michael seperti tak pernah kosong,
selalu ada gadis-gadis yang mengisinya walaupun singkat. Dan Luna sudah lelah
mempertahankan takhtanya.
“Luna ...,” suara Rezi menyadarkan Luna dari lamunannya.
Mata Luna mengedip beberapa kali.
“Thank you, Rez,” ucap Luna lirih. Rezi tersenyum
lega lalu mengangkat wajahnya sedikit menjauhi Luna. “Kalau tidak ada kamu ...
entahlah ...,” syukur Luna.
Senyum Rezi mengembang. “Entahlah gimana? Itu nggak dalam,
kok. Kalau kamu berdiri dengan benar dan tidak panik, kamu bisa keluar sendiri
dari air,” jelas Rezi sedikit meledek.
Luna terdiam sesaat, lalu menyengir. “Masa, sih?” tanyanya
tak percaya, membuat Rezi tak dapat menahan tawanya.
“Iya, Aluna Inditiara. Masuk saja lagi kalau nggak
percaya,” ujar Rezi lagi.
“Iiiih ....” Luna bergidik. Terbayang rasa takutnya selama
di dalam air tadi. Ia pikir ia akan mati saat itu. Bahkan ketika tadi Rezi
menarik tangannya, Luna sempat berpikir bahwa itulah malaikat maut yang akan
membawanya meninggalkan dunia, sehingga ia meronta-ronta.
Luna bangkit dari posisi berbaringnya dan duduk mendekap
lutut. Tubuh dan pakaian yang basah serta embusan angin danau yang menerpanya
membuat Luna merasa kedinginan.
“Dingin?” tanya Rezi pendek. Luna menoleh ke Rezi, lalu
mengangguk kecil. “Ya sudah. Kita pulang saja. Kamu sanggup naik sepeda?”
“Sanggup ... aku nggak apa-apa, kok, cuma kaget saja
tercebur tadi,” sahut Luna sambil beranjak dari rumput.
“Aku antar kamu, deh. Takutnya kamu masih lemas,” sahut
Rezi sambil ikut bangkit.
“Beneran? Jauh, lho, kalau kamu harus balik lagi,” tanya
Luna meyakinkan. Rumah Luna dengan apartemen Rezi berjarak cukup jauh, apalagi ditempuh
dengan bersepeda.
“Enggak apa-apa, sambil jalan-jalan juga, kok.
Hitung-hitung menikmati nyamannya bersepeda di Canberra sebelum pulang ke
Indonesia, Lun,” jawab Rezi sambil tersenyum. Luna ikut tersenyum.
Kemudian Rezi dan Luna mengambil sepeda mereka yang
disandarkan pada pohon eukaliptus yang menebar harum. Luna dan Rezi sangat suka
baunya, sehingga mereka sering memetik beberapa lembar daun eukaliptus untuk
diremas dan dicium.
Setelah memasang helm ke kepala, Rezi dan Luna mengayuh
sepeda mereka masing-masing menyusuri jalan khusus sepeda.
“Sudah dapat tiket ke Indonesia, Rez?” celetuk Luna
disela-sela kayuhan kakinya yang melambat. Di depan ada jalan aspal yang harus
mereka seberangi, dan mereka berhenti untuk menekan tombol lampu lalu lintas
agar kendaraan bermotor memberi jalan pada pejalan kaki dan pengendara sepeda
seperti mereka.
“Oh ya, akhirnya aku dapat tiket juga tadi pagi. Jadinya
minggu depan aku pulang habis. Tapi besok pagi aku sudah berangkat ke Sydney,
pengin jalan-jalan dulu di sana sebelum terbang ke Indonesia, sekalian cari
suvenir di China Town,” jawab Rezi.
Luna merasa ada semacam benda tajam yang menyayat kalbunya
mendengar jawaban Rezi barusan. Bertahun-tahun terbiasa bersama Rezi, membuat
Luna harus menata hati agar siap untuk kehilangan Rezi nanti. Minggu depan
mereka akan mulai menjalani kehidupan masing-masing di belahan dunia yang
berbeda, melepaskan kisah persahabatan mereka yang sangat manis.
“Ah ... akhirnya ... aku lulus juga ...,” syukur Rezi
dengan senyum mengembang.
“Kita lulus juga ... aku, kan, juga sudah lulus,” ralat
Luna, membuat Rezi meliriknya lucu.
“Eh, hijau, tuh. Jalan!” seru Luna tiba-tiba.
Lampu bagi pengendara sepeda dan pejalan kaki berganti
menjadi hijau, sedangkan lampu bagi kenderaan bermotor berubah menjadi merah.
Luna dan Rezi cepat-cepat mengayuh sepeda mereka menyeberangi jalan.
“Mudah-mudahan kamu bisa dapat kerjaan bagus di Indonesia,
ya, Rez,” kata Luna lagi.
“Amiiin,” sahut Rezi. “Kamu, Lun, tentu akan mencari
pekerjaan di sini, kan?”
Luna mengangguk. “Aku ingin bekerja di penerbitan,”
jawabnya singkat. Napasnya sudah mulai ngos-ngosan. Ternyata sudah jauh juga
mereka mengayuh sepeda, sudah hampir sampai ke kawasan tempat tinggal Luna.
Sebenarnya, meskipun Luna yang mengajak Rezi ke danau, tapi Rezilah yang
mengusulkan agar mereka bersepeda saja. Kata Rezi, untuk melepaskan energi
negatif yang menumpuk di diri Luna yang sedang marah dan kecewa setelah putus
dari Michael.
“Oh ya, aku lupa bilang, permohonan kami untuk pindah
kewarganegaraan sudah dikabulkan pemerintah Australia,” Luna memberi tahu.
“Wow ... serius?” Rezi terperangah. Setelah dua puluhan
tahun keluarga Luna menetap di Australia, akhirnya mereka resmi menjadi warga
negara Australia juga.
“Iya. Papa dan Mama senang banget, tuh. Kalau aku ...
entahlah ... aku tidak bisa membedakan mana yang lebih enak, jadi warga negara
Indonesia atau Australia, karena sejak umur dua bulan aku sudah dibawa tinggal
di sini,” tutur Luna lagi.
Rezi mengangguk-angguk mendengar penjelasan Luna. “Tapi ...
rasanya aneh mengetahui bahwa ... kamu bukan WNI lagi, Lun,” sahut Rezi pelan.
Luna mengernyitkan dahinya. Dia tak mengerti maksud
kata-kata Rezi. Apanya yang aneh? Toh sejak bayi aku memang sudah tinggal di
sini. Bahkan, aku hanya sempat sekali berkunjung ke Indonesia. Itu pun saat
usiaku baru lima tahun, tak banyak yang bisa kuingat, kata Luna dalam hati.
“Aneh kenapa, sih?” tanya Luna heran.
Rezi terdiam sejenak, seperti mengumpulkan energi yang
begitu besar sebelum melontarkan kata-kata, “Ya ... rasanya ... kita jadi
semakin jauh ....”
Luna tertegun meresapi ucapan Rezi. Kita jadi semakin
jauh ....
Tiba-tiba, “Lyneham Shop!” seru Rezi begitu melihat pusat
pertokoan di Lyneham, karena rumah keluarga Luna tak jauh lagi. Luna tersentak
lalu tertawa kecil.
“Yup! Aku duluan, ya. Terima kasih, Rez, sudah nganterin aku
sampai ke sini!” pamit Luna sambil melambaikan tangannya.
“Oke, hati-hati!” sahut Rezi, lalu membelokkan setang
sepedanya menuju ke arah yang berlawanan. Tetapi, baru beberapa kayuhan,
tiba-tiba Rezi berbalik dan mengejar Luna dengan sepedanya. “Luna! Tunggu!”
serunya kencang.
Luna yang mendengar panggilan Rezi menghentikan laju
sepedanya dan menoleh ke belakang. Tampak Rezi yang semakin mendekat.
“Ya? Ada apa lagi?” tanya Luna ketika Rezi sudah berada di
hadapannya.
Rezi terdiam, meragu sesaat. Tapi ia tak tahan lagi. Perasaan
yang sudah terpendam selama ini harus dilepaskan. Luna harus tahu, betapa sejak
awal pertemanan mereka, Rezi sudah menyimpan cinta yang besar padanya.
Perhatian, kasih sayang, waktu luang ... semuanya telah Rezi persembahkan untuk
Luna. Hanya untuk Luna ... meskipun Luna tak menyadarinya.
“Luna ... aku ... aku tahu, mungkin kamu menganggap ini
lucu. Aku sadar kita adalah teman ... cuma teman ... tapi ...,” Rezi menghela
napasnya. Berat. “Aku ... mencintaimu ... Luna ....”
Akhirnya pernyataan itu terucap juga dari bibir Rezi. Rezi
sadar, cintanya ini mungkin tak berbalas, tetapi Rezi tetap ingin
menuntaskannya. Ia tak ingin membawa beban ini pulang ke Indonesia. Biarlah
cinta bertepuk sebelah tangan ini ia tinggalkan di Australia, terkubur sepi di
Canberra. Ia ingin memulai hidup baru dan mudah-mudahan juga akan menemukan cinta
baru di Indonesia.
Luna terperangah. Matanya menatap Rezi lekat-lekat, seolah
tak percaya. Lidahnya terasa kelu, membisu, tak tahu harus berkata apa. Rezi
... mencintainya? Yang benar saja!
Menyadari hal itu, Rezi buru-buru berujar, “Kamu tak perlu menjawabnya,
Luna, karena aku memang bukan mencari jawaban, juga tak mengharapkan jawaban.
Aku sudah bisa menebak apa jawabanmu. Aku hanya mengutarakan isi hatiku sebelum
kita berpisah, dan mungkin tak pernah bertemu lagi. Itu saja. Tak perlu merasa
bersalah karena sudah mendengarnya ....”
Rezi menatap Luna dengan pandangan nanar. “Aku pulang. Jaga
dirimu baik-baik, ya,” tukasnya sebelum menjauh meninggalkan Luna yang masih
terpana.
“Rezi ...,” desis Luna sambil menatap kepergian Rezi dengan
hati galau. [be]
Undangan Menjadi Peserta Lomba Review Website berhadiah 30 Juta.
BalasHapusSelamat Siang, setelah kami memperhatikan kualitas tulisan di Blog ini.
Kami akan senang sekali, jika Blog ini berkenan mengikuti Lomba review
Websitedari babastudio.
Untuk Lebih jelas dan detail mohon kunjungi http://www.babastudio.com/review2014
Salam
Baba Studio
luar biasa kereen sekali ini naskahnya :D
BalasHapus