Selasa, 17 Februari 2015

Gibah di Media Sosial: No Mention, Kok!



            Media sosial terutama Facebook sekarang rame banget, ya? Kalo buka wall berasa riuh, gerah, dan bikin kening berkerut. Bikin cepat tua, deh. Padahal, kan, buka Facebook pengen refreshing bentar. Segala berita, peristiwa, pengalaman, atau apa pun yang bisa dibikin status selalu rame komentar, dibahas sampai sedetail-detailnya, bahkan sampe nggak nyambung lagi sama tema awal, hehehe. Ada hal-hal buruk, dibicarain. Ada hal-hal baik, kadang sengaja dicari sisi buruknya, terus dibicarain juga, deh. *tepok jidat*
            Jadi khawatir aja, sih. Kok, kita (mungkin termasuk saya), secara sadar atau tidak, jadi sering (atau terjebak) bergunjing atau menggibah orang lain di media sosial, ya? Padahal, kita semua mungkin sudah tahu bahwa bergunjing itu hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Yang dimaksud gibah adalah kita menceritakan sesuatu tentang orang lain, yang kalo si orang tersebut tahu dia akan marah atau tidak suka (alias membicarakan keburukan orang lain).
            Allah Swt. melarang keras kita bergunjing, seperti dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” ( Q.S. Al-Hujurat [49] :12).
Memang nggak semua gibah haram, sih. Ada gibah-gibah yang dibolehkan, dan itu dilakukan dengan terpaksa karena alasan:
  1.        Dizalimi. Orang yang dizalimi boleh mengadu ke pihak yang berwenang agar mendapat keadilan.
  2.        Minta tolong agar dihentikannya kemungkaran/kejahatan.
  3.        Mencari fatwa atau hukum.
  4.        Memperingatkan atau menasihati orang lain atas suatu kemungkaran/kejahatan.
  5.        Orang tersebut nyata-nyata melakukan kejahatan/kebidahan.
  6.        Menyebut seseorang dengan sebutan yang sudah biasa melekat pada dirinya (untuk menggambarkan dirinya, bukan untuk mengejeknya).

Terus, kalo menggibah tapi no mention alias nggak nyebut nama orang yang digibah gimana?
Kalo nggak nyebut nama tapi bikin clue yang membuat orang lain “ngeh” bahwa status atau komentar tersebut ditujukan untuk orang tersebut, ya sama aja atuuuh. Atau, misalnya di wall lagi gencar tentang kasus apa gitu, terus kita bikin status yang nyerempet-nyerenpet ke situ. Yah, semua orang tahulaaah, hihihi.
Jadi, gibah nggak nyebut nama dan nggak mengarahkan orang lain untuk mencurigai orang yang kita gibah, boleh dong?
Nah, kalo yang ini, masih harus dilihat dulu apa yang membuat kita harus menggibah. Apakah kita melakukannya karena terpaksa, demi kemaslahatan umat misalnya, atau cuma lahir dari nafsu kita yang sedang pengen banget nyeritain orang? Jangan-jangan karena yang terakhir, nih.
“Duh, udah lama banget nggak ngegosipin orang. Mulut jadi gatel.”  
Atau,
“Si A cakep banget, bikin iri, deh. Sebarin kejelekannya, ah, biar nggak banyak yang suka.”
Hehehe.
Nah, mulai sekarang, sebaiknya kita mikir-mikir dulu, deh, sebelum ngomongin orang. Baik gibah dengan menyebut nama atau tidak, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Apa perlunya?
Kalo di dunia nyata, mungkin kita hampir nggak punya waktu buat nyeritain orang, ya. Atau, mungkin kita juga risih kalo nyeritain orang terang-terangan karena pasti bakal dicap tukang gosip, deh. Tapi, di media sosial, kenapa kita gampang banget bikin status gibah atau kasih komentar di status gibah? Mungkin karena kita merasa sendirian ketika mengetiknya, nggak ada orang (yang peduli) di sekitar kita. Kita lupa bahwa ada Allah yang selalu mengawasi gerak-gerik kita. Alangkah baiknya bila kita memperbanyak zikir untuk mengerem mulut dari perkataan-perkataan/jari dari tulisan-tulisan yang tidak bermanfaat.   
Semoga menjadi pengingat buat kita semua, ya. Khususnya saya yang baru belajar lebih mendalami Islam. Meskipun saya memang sejak lahir udah (otomatis) jadi muslim, tapi ternyata saya masih harus belajar banyak untuk menjadi muslim yang baik.[be]

Disuruh Ibadah Melulu, Nggak Boleh Senang-Senang?

        
          Bener nggak, ya?
         Allah mengatakan dalam Alquran surat Az-Zariyat ayat 56:

          “Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
         Berarti, kita cuma disuruh ibadah, nggak boleh senang-senang? 
         
         Boleeeh. Boleeh, kok!
         Itu memang hakikat manusia diciptakan Allah Swt.; supaya beribadah kepada-Nya, menyembah-Nya, atau mengabdi kepada-Nya. Yang berarti, apa pun yang kita lakukan di dunia ini—karena zaman udah canggih, maka dunia saat ini ada dua: dunia nyata dan dunia maya—haruslah dalam bingkai beribadah kepada Allah.  

          Makan, misalnya, untuk memberi dan menjaga tubuh pemberian Allah dengan nutrisi yang cukup agar sehat walafiat. Itu ibadah. Bekerja; mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggung jawab kita. Itu juga ibadah. Masih banyak contoh lainnya yang kita semua tentu sudah tahu, ya.


          Ibadah, ibadah, ibadah melulu, boseeen, ah! Terus, kapan senang-senangnya, dong?


          Tentu ada. Allah Maha Penyayang. Walaupun kata-Nya kita diciptakan untuk beribadah, tapi ternyata Allah juga memberi kita kesenangan, loh. Allah juga memberi kita kesempatan untuk merasakan kenikmatan hidup di dunia. Tapi, Allah juga memberi kita aturan dalam menikmatinya supaya kita tidak lantas menjadi manusia yang hanya mikirin senang-senang, melainkan agar kita tetap menjadi manusia yang bertanggung jawab, mulia, dan terjaga kehormatannya. 
          Kesenangan-kesenangan itu misalnya:
          
1. Syahwat: disalurkan dengan menikah. Kita tidak boleh melampiaskan syahwat kepada sembarang orang dan di sembarang tempat seperti hewan. Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, laki-laki dengan perempuan, lalu ditumbuhkan rasa cinta di antara mereka, yang dilanjutkan dengan keinginan membina rumahtangga. Kalau syahwat nggak terkendali, akibatnya sungguh buruk, orang akan menyalurkannya dengan siapa saja, bahkan dengan yang sejenis kelamin. Nauzubillah. Hewan saja tidak memuaskan nafsunya dengan yang sejenis kelamin, ya.


2. Harta: dibersihkan dengan zakat, infak, sedekah supaya kita tidak menjadi manusia kikir dan suka menumpuk-numpuk harta.

3. Tahta atau kekuasaan: diwanti-wanti agar menjadi pemimpin yang adil supaya kita menjunjung tanggung jawab dan dicintai rakyat.

4. Ilmu/kecakapan: dengan mengajarkannya kepada orang lain. Ilmu yang dibagikan akan terus berkembang, ilmu yang disimpan akan hilang.

          Masih banyak lagi, ya. Yang jelas, kesenangan apa pun yang kita dapatkan harus diiringi dengan tanggung jawab dan rasa rendah hati. Allah melarang kita berbuat ria, ujub, dan takabur dengan menyebut-nyebut kesenangan dan kelebihan kita. Kemuliaan kita, biarlah Allah dan orang lain yang menilai, dari apa yang kita perbuat sebaik-baiknya karena Allah, bukan dari apa-apa yang kita pamerkan untuk mendapatkan pengakuan ataupun pujian.


          Intinya, Allah memberikan kesenangan, bersamaan dengan itu juga memberikan batasan-batasan. Tujuannya agar kita tetap menjadi manusia yang mulia, juga agar kita mampu menjaga diri dari nafsu yang menyesatkan, yang dapat membuat kita menjadi serendah-rendah makhluk. 

         Nah, silakan nikmati kesenangan yang Allah berikan kepada kita, dengan tidak melupakan kepentingan/kebutuhan orang lain, dan dengan tidak berlebih-lebihan.[be]








Rabu, 11 Februari 2015

Today You’re Muslim, How about Tomorrow?



Saya tertegun ketika mendengar kabar bahwa seorang teman satu kost saya dulu sekarang sudah murtad. Nauzubillahi min zalik. Rasanya nggak percaya banget. Dia hijaber yang jatuh cinta pada laki-laki nonmuslim. Kemudian, menjelang pernikahan mereka berdua, calon suaminya memeluk Islam. Sekarang, entah bagaimana, justru keadaan berbalik, dia yang mengikuti agama suaminya.
            Ya Allah …. Tanpa rahmat-Mu, tanpa perlindungan-Mu, betapa lemah iman kami, betapa sulit menjaga akidah kami, betapa kami tak berdaya dibujuk rayu setan.  
            Siapa yang dapat menjamin bahwa seseorang yang terlahir sebagai muslim juga akan mati sebagai muslim? Siapa yang dapat menjamin bahwa esok hari kita masih berada dalam golongan orang-orang muslim?
Tak seorang pun.
Setiap saat, godaan-godaan setan selalu datang menggempur pikiran kita untuk berbuat dosa dan mempersekutukan-Nya. Tak peduli saat kita sehat, sakit, bahkan saat sakaratulmaut. Seseorang yang saleh bahkan ulama pun tak luput dari godaannya, sehingga pernah terdengar seorang ulama murtad sebelum meninggalnya. Nauzubillah. Seorang ulama saja bisa murtad, bagaimana dengan kita yang awam dan miskin ilmu ini?
Sahabat, janganlah takabur dengan ilmu yang kita peroleh dan ibadah yang telah kita lakukan. Teruslah belajar dari Alquran dan hadis, juga dari mereka yang lebih baik dari kita. Mendekatlah pada orang-orang yang mendekatkan kita dengan Allah. Menjauhlah dari orang-orang yang menjauhkan kita dari Allah. Jagalah akidah diri kita, keluarga kita, anak cucu kita, dan orang-orang yang kita cintai. Karena, merekalah orang pertama yang kelak akan mengingatkan kita bila akidah kita mulai tergelincir.  
Pun, janganlah memandang rendah pada orang-orang yang ilmu dan ibadahnya belum sebaik kita. Bisa jadi kelak merekalah calon penghuni surga. Kita tidak pernah tahu kapan hidayah datang kepada mereka dan kapan hidayah ditarik dari kita.
Sungguh, manusia itu lemah. Cinta pada dunia, cinta pada manusia, ketakutan akan rasa sakit, keengganan hidup menderita dan sebagainya dapat membuat cintanya kepada Allah sirna. Padahal, cinta yang seyogianya tak pernah pupus itu adalah cinta seorang hamba kepada Rabb-nya. Karena, Dia Mahasempurna, tanpa cela, bagaimana mungkin kita tidak jatuh cinta kepada-Nya?
Manusia diciptakan sebagai makhluk yang banyak salah dan khilaf. Tiada penolong yang dapat menyelamatkan manusia dari kekhilafan selain penciptanya sendiri.  Ikhitiar kita untuk selalu berbuat benar dan tak jemu memperbaiki khilaf adalah jihad, yang kelak akan mendapat balasan dari Allah.
Islam memberikan hukuman yang sangat keras untuk orang yang murtad, bahkan nyawanya pun jadi tak berharga. Ya Allah, semoga dia dapat kembali ke pelukan kasih-Mu ….
Mari kita selalu menyelipkan doa dalam setiap salat kita, semoga Allah mengizinkan kita hidup dan mati sebagai muslim. Amiiin.[be]

Minggu, 08 Februari 2015

Berhijab Syari: Sanggup Nggak, Ya?



Yup! Itu pertanyaan yang paling menghantui saya saat mulai memikirkan untuk memakai hijab yang sesuai tuntutan syariat. Sanggup nggak, ya? Tubuh saya, kan, nggak terlalu tinggi. Nanti kalo pake gamis atau baju kurung dipadu jilbab seluas samudra, hiiiy … penampakan saya kelelep, lagi! Ntar nggak kelihatan langsing lagi, dong. Terus, takut jadi kelihatan kayak emak-emak dari gunung manaaa gitu. Nggak modern, nggak stylish, nggak ikut fashion, mati gaya total … euh … membayangkannya kok mengerikan. Masa disuruh menyembunyikan bentuk tubuh yang bikin cewek-cewek ngiri dan cowok-cowok ngeres ini? Wkwkwk. Jadi, di mana menariknya saya, dong? Masa saya rela kehilangan follower, eh, maksudnya admirer saya di luar sana?  
Uppps! Ngucap … ngucap …. Saya mikir ulang dengan pikiran jernih, deh. Bukankah fungsi hijab itu supaya seorang muslimah tidak terlalu menarik perhatian sehingga tidak diganggu, yaaa. Kenapa malah jadi mikirin pengen menarik perhatian orang lain? Nanti kalo udah diganggu baru nyesel! Lagian, saya, kan, (akhirnya nyadar, heuheu …) udah punya suami. Waaa … kenapa kepikiran buat menarik perhatian orang lain selain si Dia? Hadeuh, hadeuh, beneran harus bersimpuh sungkeman sama suami, deh, udah membagi-bagikan hak istimewanya kepada orang lain seenak sendiri    
Nah, singkat cerita, akhirnya keinginan untuk berhijab syari itu udah nggak terbendung lagi. Alhamdulillah, suatu hari dapet rezeki satu juta, dan malamnya langsung ke toko yang menjual baju-baju muslimah syari. Waktu itu dapat empat potong gamis katun plus tiga hijab lebar. Untuk sementara, cuma itu yang saya pake-cuci-pake-cuci. Ngeneeees? Nggak juga, sih. Karena, setelah berhijab syari itu, ternyata pandangan saya terhadap urusan penampilan jadi sangat simpel dengan sendirinya. Saya nggak mikir artis anu lagi pake baju ini, sosialita inu lagi pake hijab model itu, ke kondangan harus pake setelan ono. Saya bebas pake gamis-gamis katun itu ke berbagai kesempatan. Pergi ke kantor, kondangan, ngajar di sekolah, ke pasar, dan lain-lain, ya pakenya gamis itu-itu juga. Toh, model gamis nggak beda-beda jauhlah, bisa masuk ke acara apa saja. Jadi, yang jadi poin utama adalah tutup aurat saja. Sooo simpeeelll.
Dan, tahu nggak? Saya jadi merasa sangat bebas … bebas … bebaaas! Saya nggak perlu pusing nyembunyiin perut yang jendul berapa senti, nggak harus gelisah kalo ada yang merhatiin bagian-bagian menarik dari tubuh saya sebagai perempuan, nggak ngiler lihat si A pake merek ini merek ono, nggak jelalatan liat mode terbaru … waaah, alhamdulillah, betul-betul merdeka! Satu lagi, hemat! Kalau semua muslimah di seluruh dunia ini berhijab syari, kayaknya toko garmen, aksesori, dan turunannya banyak yang tutup, deh, hehehe. Baru saya sadar bahwa hijab yang sebenarnya itu membuat perempuan merdeka, bukan terjajah. Selama ini rupanya saya yang telah terjajah fashion!
Dulu saya pernah ngomong gini sama suami, “Kalo aja perintah berhijab itu nggak ada dalam Alquran, saya nggak akan pakai jilbab.” Huhuhu … bodohnya saya, udah berkali-kali baca Alquran tapi tidak paham. Seharusnya saya mikir dengan iman, nggak mikir dengan nafsu, kan, ya? Jadi ingat kata Rasulullah:
“Barang siapa yang Allah inginkan kebaikan kepadanya, niscaya akan dipahamkan tentang masalah agama.”
Mudah-mudahan kita semua mendapat kasih sayang Allah seperti itu, yaa. Amiiin.
Eh, tapiii …, setelah mulai berhijab syari, saya menyadari bahwa ternyata yang berat itu bukan memperlebar ukuran pakaian dan hijabnya, lho! Itu mudah, gampaaang, nggak bikin saya lantas jadi "unknown"..Yang berat itu, beraaat banget, justru meninggalkan koleksi MAKE UP! Masya Allah, dalam sejarah, bisa dihitung pakai jari saya keluar rumah nggak pake make up. Minimal lipstik, eyebrow, dan eyeliner pasti mempercantik (?) wajah saya. Saya nggak pede banget keluar dengan polos, tanpa manipulasi warna-warni yang biasanya membuat wajah saya terlihat makin berseri, mata sipit saya makin lebar, dan alis tipis saya makin tegas. OH, TIDAAAK! Tanpa make up, wajah saya akan terlihat kumal, kusam, kucel uwel-uwel. Saya bakal jadi jelek! Jelek dan tua! Jelek, tua, dan memprihatinkan! Kayak belum mandi!
Hhhh … tapi, Allah sudah memerintahkan begitu, ya mau gimana? Masa mau ngikut lebarnya hijab saja dan nggak ngikut syarat selanjutnya dalam berhijab syari? Ya, syaratnya: nggak boleh tabarruj atau berhias berlebih-lebihan untuk orang yang tidak berhak. Hm …, di luar rumah itu, kan, banyak banget orang yang nggak berhak menikmati kecantikan (ehm …) saya, ya, kenapa saya justru dandannya pas keluar rumah? Uhuk-uhuk …, sungkeman lagi sama suami, deh, hehehe.           
Oh ya, ada tantangan terbesar pas saya mau pakai hijab syari pertama kali. Ceritanya gini …. Suatu malam, saya dan keluarga mau jalan-jalan ke Pekan Kebudayaan Aceh, bawa adik saya yang kebetulan datang dari luar kota. Well, inilah saat paling bersejarah dalam perjalanan berhijab saya: pertama kali pakai hijab lebar. Sebagai oleh-oleh, adik saya memberi saya sebuah bros yang cantik. Oke, akan saya pakai, deh. Jilbab baru, bros baru. Klop.
Namun, ya Allah, ternyata pakai hijab syari itu susaaaah banget. Sudah lebih lima belas menit saya coba, saya nggak berhasil menyematkan bros ke hijab saya. Padahal, keluarga saya sudah menunggu-nunggu mau berangkat. Saya sampe keringetan. Bahkan sampe udah setengah jam nggak sukses-sukses memasang bros. Apakah bahannya terlalu tebal, ya? Biasanya, kan, saya suka pake jilbab paris yang tipis menerawang seksi gitu, ya. Sekali-kalinya pake yang berbahan tak tembus pandang ternyata susah masang brosnya. Sampe saya bergumam, “Ya Allah, ternyata begini susahnya pake hijab syari.”
Akhirnya saya nyerah. “Ah, udah, deh, coba bros lain aja,” pikir saya.
Saya ganti bros, dan sekali tusuk ke hijab, langsung sukses. Benar-benar tanpa perjuangan keras. Saya jadi curiga, hmm … kok, bisa? Ada apa gerangan? Setelah saya amat-amati, ternyata jarum bros yang dikasih adik saya itu tumpul, bagian runcingnya patah blasss! Hadeuuuh …, bener-bener, deh, sampe mengeluh sama Allah bahwa pake hijab syari itu sulit. Malu jadinya.
Nah, sekarang alhamdulillah sudah dua tahun saya pakai hijab syari. Apakah saya tampak kayak gentong? Apakah muka saya tampak kusam dan tua? Apakah saya jadi terlihat kampungan? Mudah-mudahan nggak, yaaa. Belum ada yang bilang gitu, sih. Entah kalo besok jadi banyak yang bilang gara-gara baca tulisan ini, hehehe. Yang saya dapatkan justru sebaliknya, lho. Kata teman-teman, wajah saya tambah segar. Padahal, dulu waktu masih senang ber-make up, ada teman cewek yang nyeletuk pas ngelihat putri saya, “Mbak, dia kok bisa cantik, ya? Ibunya udah pake make up pun nggak cantik juga.” Subhanallah, sadis banget statement-nya, ya? Heuheuheu.  
Mudah-mudahan itu semua hadiah dari Allah, ya. Mudah-mudahan juga saya bisa istikamah, serta tidak ujub, ria, dan takabur dengan menceritakan pengalaman saya ini. Saya berdoa semoga Allah menjaga niat saya—yang menulis ini demi dakwah—agar tetap lurus … hanya untuk Allah, tidak untuk menuai pujian. Semoga ada teman-teman yang terinspirasi dan dapat memetik kebaikan dari tulisan ini. Amiiin.[be]