Senin, 29 Juli 2013

Menjemput Adrenalin di Belantis Leipzig



Kalau Jakarta punya Dufan, maka Leipzig punya Belantis, taman rekreasi terbesar di bagian Timur Jerman. Wahana-wahana permainan seru pun digeber di sana, baik untuk orang yang punya nyali lebih, yang rada takut-takut seperti saya, sampai untuk anak-anak. Saya pernah berkesempatan mengunjungi Belantis membawa teman-teman yang datang dari Dresden yang penasaran dengan taman hiburan ini.
Sandmann, tokoh dongeng si penabur bubuk tidur di Jerman

            Sayangnya, hari itu cuaca tidak begitu bersahabat, mendung dan hujan rintik-rintik hampir sepanjang hari. Yaah ... padahal saat itu musim panas. Suhu udara Leipzig yang biasanya di atas 22˚C pun anjlok menjadi 17˚C. Tapi karena teman-teman sudah datang pada hari itu, ya sudah, pergi saja meskipun dingin-dinginan seharian di luar. Brrr!
            Dari Hauptbahnhof (Main Station) Promenaden, kami naik Strassenbahn (tram) nomor 3 sampai halte terakhir di Knautkleeberg. Dilanjutkan dengan bus nomor 118 yang langsung menuju halte Belantis. Perjalanan dari Hauptbahnhof ke Belantis memakan waktu kira-kira 40 menit – 1 jam (tergantung berapa lama menunggu bus datang). Kami sempat ketinggalan bus, jadi terpaksa menunggu bus berikutnya, deh!

Menunggu Buslinie 118

            Begitu turun di halte bus, langsung tampak istana Belantis yang besar dan cantik berwarna biru muda. Saya langsung membeli Familien Tiket (tiket keluarga) dengan harga 24,90€ per orang (ini berlaku jika anggota kelompok kita lebih dari dua orang), sementara anak-anak yang tinggi tubuhnya di bawah 1 meter gratis. Lumayan, deh, bayi saya tidak perlu bayar. Kemudian kami semua langsung masuk ke dalam.

Schloss Belantis

            Taman Belantis ini dibagi dalam delapan tema, yaitu; Schloss Belantis (Istana Belantis), Tal der Pharaonen (Lembah Fira’un), Strand der Götter (Pantai Dewata),  Land der Grafen (Tanah Perhitungan), Insel der Ritter (Pulau Ksatria), Küste der Entdecker (Pantai Penemu), Prärie der Indianer (Padang Rumput Indian), dan Reich der Sonnentempel (Kekayaan Kuil Matahari). Semuanya asyik dan seru! 

Swiiiing!

            Karena saya membawa dua anak balita, gerak saya sedikit terbatas alias tidak bisa mencoba semua wahana yang ditujukan untuk orang dewasa. Sayang, deh, tiket mahal-mahal. Tapi saya dan suami bekerja sama dengan baik agar masing-masing kami tetap dapat menikmati lonjakan adrenalin yang ditawarkan oleh Belantis ini. 
Wasserrutschen
 
Makan siang dulu, dong!
            Setelah mencoba wahana-wahana yang cocok untuk anak-anak, sampai ikut-ikutan naik kereta api mainan segala, saya “kabur” sejenak untuk merasakan terjun dari Piramida Firaun. Soalnya saya perhatikan, kok, kayaknya orang-orang yang terjun dari situ asyik banget, menjerit-jerit heboh. Dalam pikiran saya, wahana itu tidak terlalu “mengerikan” karena bentuknya hanya seperti perosotan tinggi. Yuk, aaah, dicoba!
Jadi anak-anak lagi :D

            Saya pun naik ke dalam perahu karet dan dibawa masuk ke dalam Piramida Firaun mengikuti aliran air. Ternyata di dalamnya seram, euy! Suasananya remang-remang dengan cahaya lampu obor yang dipegang patung-patung ala Mesir atau yang ditaruh di dinding-dinding berelief. Setelah berperahu beberapa saat sambil menikmati suasana mencekam, tiba-tiba perahu saya berhenti tepat di depan “jurang” piramida.
            “Hiii ... inilah saatnya!” kata hati saya. 
Piramida Firaun

            Tak lama kemudian, tahu-tahu perahu berisi saya dan beberapa orang lain itu sudah dijatuhkan dari ketinggian. Tak seperti dugaan saya sebelumnya yang mengira itu akan seperti perosotan, ternyata kejadiannya sangat jauh dari itu. Saya merasa seperti terjun di udara tanpa melihat apa pun di sekeliling saya selain langit! Rasanya seperti dilontarkan begitu saja sebelum akhirnya perahu saya menemukan landasan untuk meluncur ke sungai buatan di bawah. Ya ampun! Semaput!
Bukan sepeda biasa, naiknya mental-mental, lho!

            Dalam kondisi basah, saya turun dari perahu dengan muka pucat tapi sambil tertawa geli. Aduh, tobat! Tapi hanya tobat sambel, karena selanjutnya saya terus mencoba wahana-wahana lain termasuk roller coaster yang disebut Mega-Achterbahn Huracan. Wuah, kalau yang ini bukan cuma ngeri, tapi juga bikin badan saya pegal-pegal selama dua hari akibat “dilempar-lempar” ke sana kemari!
Sepeda air

            Setelah puas menjemput adrenalin, sambil menuju pintu keluar, saya iseng mencoba Perahu Santa Maria, yaitu perahu besar yang (ternyata) berayun hingga 180˚. Kelihatannya, sih, seperti ayunan biasa, makanya saya berani naik buat nyantai. Soalnya naik Huracan tadi telah berhasil menyusutkan nyali saya ke taraf terendah. Tapi hohoho, ternyata saya salah besar. Saat diayun turun dari posisi 180˚ itu, rasanya sama saja seperti jatuh dari Piramida Firaun! Dan itu dilakukan berkali-kali! Tobat beneran, deh!
Balapan, yuk!

            Sebelum keluar dari Belantis, kami menyempatkan diri menuju toko suvenir yang menjual berbagai macam cenderamata khas Belantis. Harganya lumayan mahal, sih, tapi memang kualitas barangnya bagus. Selain toko suvenir, di Belantis juga ada beberapa restoran dan hotel. Harganya tentu sedikit lebih mahal dibandingkan dengan yang ada di luar Belantis.
Akhirnya kami pulang dengan membawa oleh-oleh foto “jelek” saat naik roller coaster yang sengaja kami beli di toko yang menyediakan jasa pencetakan foto. Hm ... lumayanlah lepas stres di Belantis dan berasa jadi ABG lagi! 
Jelek banget, hahaha!

Belantis kini sudah banyak berbenah. Ketimbang saat saya kunjungi dulu—dua tahun setelah dibuka pertama kali—sekarang Belantis lebih teratur, cantik, dan wahana serta event-nya lebih banyak. Suasana di sekitarnya juga tampak tidak terlalu gersang lagi seperti dulu. Jadi pengen ke sana lagi, deh! [Be]

*Selengkapnya tentang Belantis dapat dilihat di http://www.belantis.de.

(Artikel ini menjaid headline di www.kompasiana.com tanggal 30 Juli 2013 http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/07/30/menjemput-adrenalin-di-belantis-leipzig-577743.html)

 
             

Jumat, 12 Juli 2013

Saya, Si Jagoan Kuda Tunggang

Kuda tunggang, itulah nama permainan tradisional favorit saya saat masih duduk di bangku SD tahun 80-an. Di tanah kelahiran saya, Desa Rantau Pauh Aceh Tamiang, permainan ini sangat populer di kalangan anak-anak, terutama di sekolah.
Permainan kuda tunggang dimainkan oleh dua tim yang umumnya terdiri dari 3 sampai 5 orang anak. Seorang wasit dipilih sebagai tumpuan kuda pertama, sekaligus sebagai juru suit. Nah, siapa yang menjadi kuda-kudanya? Tentu saja anak-anak anggota salah satu tim yang mendapat giliran menjadi “pecundang”, sementara anak-anak tim yang satunya lagi menjadi penunggang mereka.
Tim Pecundang sebagai kuda tunggangan harus berderet ke belakang dengan posisi badan membungkuk seperti sedang rukuk. Anak-anak anggota tim ini harus memeluk pinggang anak yang membungkuk di depannya dengan erat, sedangkan kepala dimiringkan ke samping agar tidak mencium punggung anak tersebut. Kaki-kaki mereka disiapkan agar cukup kuat menahan beban tunggangan nantinya. Sementara wasit bersender pada dinding, baik dinding tembok, batang pohon, atau apa pun yang bisa dijadikan senderan, dan kuda pertama akan memeluk pinggang wasit. Wasitlah yang mengawasi jalannya permainan, apakah ada yang curang, apakah ada penunggang yang kakinya menyentuh tanah, dan sebagainya.
Setelah Tim Pecundang siap tempur, anak-anak Tim Penunggang akan meloncat satu per satu menaiki punggung Tim Pecundang. Biasanya sebelum melompat, penunggang mengambil ancang-ancang terlebih dahulu dengan mundur beberapa langkah ke belakang, lalu berlari kecil dan melompat dengan kedua tangan bertumpu pada punggung kuda tunggang, kemudian mendarat duduk di atasnya. Begitu semua anggota Tim Penunggang sudah berada di atas punggung Tim Pecundang, anak yang melompat terakhir kali harus melakukan suit jari dengan wasit. Jika Tim Penunggang menang dalam suit ini, berarti mereka boleh tetap menjadi tim penunggang. Tetapi jika kalah, mereka harus bertukar tempat dengan Tim Pecundang, alias menjadi kuda tunggangan.
Bagi saya dan teman-teman, hampir tiada hari tanpa bermain kuda tunggang. Biasanya kami bermain saat jam istirahat di halaman belakang sekolah yang teduh. Ya, permainan kuda tunggang ini memang sangat menguras energi sehingga pemainnya merasa kepanasan dan kegerahan. Bagaimana tidak? Baik menjadi kuda tunggangan maupun menjadi penunggang, keduanya sama-sama capek. Kuda tunggangan babak belur menahan beban penunggang, sementara penunggang juga capek karena harus melompat sejauh mungkin agar dapat duduk di atas kuda dengan masih menyisakan tempat bagi penunggang selanjutnya. Tak heran jika para pemain kuda tunggang ini selalu banjir keringat dengan muka merah padam!
Saya sendiri dikenal oleh teman-teman sebagai jagoan kuda tunggang. Walaupun biasanya para pemain kuda tunggang dipilih berdasarkan bentuk tubuhnya yang besar dan kuat, itu tidak berlaku bagi saya yang bertubuh kurus dan kecil. Ya, meskipun saya kelihatan “ringkih”, tapi saya sangat gesit dan jitu. Lompatan saya sangat jauh, tajam, dan tepat sasaran ketika naik ke atas kuda tunggangan. Tim Pecundang akan “keder” menerima lompatan saya, yang membuat mereka terenyak ke bawah saking kerasnya pendaratan yang saya lakukan. Kalau kaki mereka tak siap dan kuat, mereka akan ambruk seketika. Bagi Tim Pecundang, tak penting apakah saya menjadi penunggang giliran pertama, tengah, atau terakhir. Semuanya sama-sama berbahaya!

Kalau saya menjadi penunggang pertama, baik kuda pertama maupun wasit harus rela mendapat “serudukan” kencang dari saya. Wasit akan meringis menahan sakit di perutnya, sementara kuda pertama juga kesakitan karena kepalanya kejeduk tembok karena saya berhasil melompat sampai ke lehernya. Saya menyisakan masih banyak sekali tempat bagi anggota tim saya, Tim Penunggang, sehingga tak masalah kalau lompatan anggota tim saya pas-pasan.

Kalau saya mendapat giliran melompat terakhir juga tak apa-apa. Biasanya, anggota tim saya sudah bertumpuk-tumpuk di kuda paling belakang karena lompatan mereka tidak terlalu jauh. Saya, dengan badan yang kecil dan ringan ini, dapat melompat dengan mudah naik ke atas tubuh-tubuh anggota tim saya untuk membentuk gundukan tinggi! Tinggallah si kuda yang malang menahan semua berat tubuh kami. 

Kalau saya harus menjadi pecundang atau kuda tunggangn, dengan badan kurus begini tentu tak kuat menahan beban, saya akan "dilindungi" dengan kerap ditempatkan pada posisi kuda pertama. Tak banyak anak yang mampu mencapai pendaratan di atas kuda pertama karena memerlukan lompatan yang jauh.  Jadi, saya tetap aman. :D
Itu sebabnya, tim yang ada saya di dalamnya hampir selalu menjadi pemenang dalam permainan kuda tunggang ini. Tak jarang saya menjadi rebutan agar bersedia menjadi anggota salah satu tim. Rayuan maut, rayuan Pulau Kelapa, semuanya dilancarkan untuk merebut hati saya. Bagi saya sendiri, tak masalah mau masuk tim yang mana karena saya selalu punya cara untuk mengatur lompatan saya. Kalau menang atau kalah dalam suit, itu hanya soal keberuntungan.
Tetapi, ternyata saya hanya menjadi jagoan dalam kuda tunggang, sementara dalam permainan kuaci saya selalu menjadi pecundang. Yang dimaksud dengan kuaci di sini adalah mainan berukuran kecil yang terbuat dari plastik atom berbentuk berbagai macam benda, buah, atau hewan. Cara bermainnya dengan melempar beberapa kuaci ke lantai atau tanah yang telah diberi garis pembatas, lalu gacuk (kuaci andalan pemain) dilempar dengan cara seperti mematuk agar mengenai kuaci milik lawan. Kalau berhasil, maka semua kuaci yang dilempar tadi menjadi milik di pelempar.
Saya kalah melulu dalam permainan kuaci ini. Sekantong plastik kuaci yang saya bawa dari rumah pun habis dalam sekejap. Raut muka saya selalu cemberut sepanjang permainan karena kesal sekaligus menahan tangis. Hm ... bolehlah saya garang waktu main kuda tunggang, tetapi ternyata cengeng saat main kuaci!
Sayang sekali permainan kuda tunggang tak saya temukan lagi zaman sekarang ini. Padahal, permainan tradisional ini sangat seru dan dapat dimainkan di mana saja. Apalagi, selain tak memerlukan biaya, kuda tunggang ini juga bisa dijadikan sebagai alternatif olahraga bagi anak-anak. Selain itu, permainan yang memerlukan kerja sama tim yang baik ini juga dapat mendidik anak agar tidak egois dan terbiasa saling menolong dalam keseharian.

Indonesia adalah negeri yang kaya budaya. Berbagai tempat menarik dengan budaya beragam seperti yang dapat dilihat dalam situs Indonesia Travel merupakan kekayaan eksklusif yang hanya menjadi milik Indonesia. Seandainya permainan-permainan tradisional juga tetap dijaga kelestariannya, tentu akan menambah daya tarik wisata berbagai daerah di negeri ini. Sudah saatnya anak-anak diimbau agar tak hanya duduk bermain di depan komputer, melainkan menggerakkan tubuh memainkan permainan tradisional seperti kuda tunggang.[Be]

Rabu, 10 Juli 2013

Terbit! The Siblings: Hilangnya Duplikat Pedang Nabi






Alhamdulillah, akhirnya novel remaja ini terbit juga! Novel ini sangat istimewa buat saya karena:
1. Setelah dua tahun mandul buku solo karena kesibukan sebagai editor, akhirnya saya sempat menyelesaikan naskah novel ini.
2. Berbeda dengan novel-novel saya sebelumnya yang bergenre komedi, novel ini lebih berbau petualangan dengan konflik yang sedikit rumit dan penuh teka-teki.
3. Setelah tiga kali ganti model cover yang laki-laki dan tidak ada yang cocok, akhirnya terpaksa dipakai foto putra sulung saya, Sulthan, yang juga seorang penulis cilik. 

Tentunya, saya harap isi novel ini juga dapat memuaskan pembaca, yaaa. Amin. Novel sudah selesai cetak, tinggal menunggu distribusinya ke toko-toko buku. Nantikan, ya!

Sinopsis:



           Airin sering sebal pada Ando, adiknya yang iseng. Ulah Ando sering membuatnya ngomel-ngomel dan mencak-mencak. Tanpa sengaja, Airin dan Ando terlibat petualangan seru! Ini berawal saat mereka mengunjungi Pameran Pedang Nabi di Floriade Mall yang diadakan atas kerja sama Indonesia-Turki. Tiba-tiba, listrik di mal padam, dan salah satu duplikat pedang Nabi Muhammad Saw. yang bernama Al-Ma’thur hilang!
            Airin dan Ando mencurigai seseorang berpakaian serbahitam sebagai pencurinya. Bahkan, bersama Om Dide, mereka sempat mengejarnya. Tetapi, ternyata mereka tidak dapat membuktikan kecurigaan mereka itu.
            Suatu hari, Airin dan Ando diajak Mutti yang berprofesi sebagai aktris untuk ikut ke lokasi syuting film. Mereka menginap di vila Pak Govinda, produser film kaya raya sekaligus pemburu barang-barang antik yang menjadikan vilanya sebagai museum. Di vila tersebut, ada ruangan terlarang yang berisi koleksi pedang antik milik Pak Govinda.
            Benarkah Pak Govinda pencuri duplikat pedang Nabi? Siapa sebenarnya seseorang yang berpakaian serbahitam itu? Yuk, simak ceritanya sampai tuntas karena ending-nya sungguh tak terduga! Ragam kejadian yang dilewati Airin dan Ando membuat mereka semakin sadar bahwa kasih sayang antarsaudara itu sangat penting.[]



Sabtu, 06 Juli 2013

Review "My 5tup1d Boyfr13nd" by Syarifah Aini

http://stanza-filantropi.blogspot.com/2012/07/punya-boyfriend-oon-gimana-jadinya-ya.html?showComment=1373123811368#c7648070007899990801

Punya boyfriend o’on? Gimana jadinya, ya? (Resensi My 5tup1d Boyfr13nd)


Apa jadinya kalo seorang anggota geng Kupu-kupu Beracun dari Bukit Utara punya pacar o’on?  Seperti  kata Bella, salah satu anggota geng, “ini bukan soal tampang, tapi otak dan kelakuan. Aku tetap enggak bisa nerima ada cowok yang menyangka Lee Min Ho itu nama presiden Korea. Terus, nganggap Andy Lau itu anggota F4! ”
Tapi nasi udah jadi lontong, mending langsung disantap sebelum keburu basi! Yup, Kiran tetap nekat backstreet dengan Ivan, tetangga depan rumahnya itu. Ini bermula dari keisengannya bikin status Facebook, “siapa yang mo bawain cokelat? Kalo cowok, aku jadiin boyfr13nd. Kalo cewek, aku jadiin pembokat magang.”
Mulai pagi itu, Kiran menggondol status sebagai pacar Ivan. Walau status keanggotaannya di geng Kupu-kupu Beracun dari Bukit Utara terancam DO, Kiran tetap bertahan demi tiket keliling Eropa yang dijanjikan Opah Ivan, setelah tau akhirnya Ivan bisa memutus kutukan jomblo sampai usia 30 tahun di keluarga mereka.
TADAAA…! Dimulai lah kekonyolan itu, mulai stupid 1 sampai stupid 23. Novel dengan genre romantic comedy ini mengajak kita ngakak, ngengkang-ngengkang, geleng-geleng sampai guling-guling (warning: jangan dibaca saat khotbah berlangsung, ntar kamu bisa diruqyah atau paling enggak disangka sarap).
Tapi namanya juga ada gaya-gaya romantic gitu, perasaan Kiran berubah di tengah jalan. Hm, apa, sih, yang membuat Kiran jatuh cintrong beneran? Apa karena Ivan mendadak jadi chef yang ahli meracik bumbu semur jengkol dan pete bakar? Atau gara-gara Kiran yang salah minum jamu kuat cap Nyonya Nyengir?
Simak juga kelakuan-kelakuan anggota geng yang mendadak dangdut berbalik arah mendukung hubungan mereka berdua? Hwuik! Ada apa dengan Cinta dan Laura? Si kembar yang tiba-tiba mendatangi Kiran sebelum rapat penentuan di-DO atau tidaknya Kiran dari geng? Masih pantas kah Kiran yang punya gelar Pendekar Brokoli ini, menjadi anggota geng Kupu-kupu Beracun dari Bukit Utara?
Membaca novel ini bukan sekedar membuat kita cengar-cengir tak jelas. Ada pelajaran berarti tentang persahabatan dan bagaimana menggali ide-ide kreatif. Contohnya saja saat Kiran and the gank  yang akhirnya gabung di eskul paduan suara (atas paksaan si kembar Cinta dan Laura, tentunya). Mereka menginspirasi teman-temannya untuk jadi lebih kreatif mendesain kostum sendiri untuk lomba.
Ivan yang dikata ‘stupid’-pun punya beragam talenta. Dari mulai memasak semur jengkol dan pete bakar, sampai merombak kostum paduan suara. Juga kekonyolan Ivan yang menguras seluruh isi dompetnya ketika  kencan dengan Kiran. Ivan memberikan semuanya untuk pemengemis buta yang memainkan kecapi sebelum mereka masuk ke resto untuk makan. Itu juga ada gunanya ketika mereka terdesak butuh bantuan, lho.
Duet dua penulis gokil -Oben Cedric dan Be Dea- ini berhasil meramu cerita yang bisa bikin senyam-senyum,  ketawa-ketiwi, sampai ngakak-ngikik mulai dari awal sampai ending-nya. Dijamin segar bugar, deh,  setelah baca novel yang satu ini!

Review "KDRT: Kekonyolan dalam Rumah Tangga" by Nurul Amin

http://media.kompasiana.com/buku/2011/12/02/asyiknya-kdrt-418216.html

Peristiwanya berawal pada hari Sabtu tanggal 26 November 2011 di Aula Serbaguna Pondok Pesantren Attaqwa Putra, Kampung Ujung Harapan, Kelurahan Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi. Forum Komunikasi Mahasiswa Attaqwa (FKMA) yang berkedudukan di Kampus UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang mengadakan seminar pendidikan bertema Meningkatkan Kultur Baca Tulis di Kalangan Pelajar. Saya dan Mas Boim Lebon didaulat menjadi narasumbernya. Setelah acara tersebut selesai, Mas Boim menghadiahi saya satu dari puluhan karyanya. Buku itu berjudul KDRT. Tentang isi buku inilah yang ingin saya bagikan kepada Anda.
Menurut yang saya pahami, KDRT itu kependekan dari kekerasan dalam rumah tangga. KDRT adalah pelakuan kasar dalam bentuk fisik dan nonfisik yang dilakukan oleh seorang atau lebih anggota keluarga kepada anggota lainnya. Umumnya, pelaku KDRT adalah suami terhadap istrinya atau ayah terhadap anaknya, tetapi bisa juga istri kepada suaminya, ibu kepada anaknya, atau kedua orang tua terhadap anaknya. Di antara beberapa faktor pemicu KDRT adalah faktor ekonomi, pendidikan yang rendah, cemburu, atau bisa juga disebabkan adanya salah satu orang tua dari kedua belah pihak yang ikut andil dalam rumah tangga.
Lain KDRT yang saya pahami, lain pula KDRT versi Boim Lebon dan kawan-kawannya. KDRT mereka singkat menjadi kekonyolan dalam rumah tangga. Buku ini diterbitkan oleh Lingkar Pena dengan tebal 160 halaman. Buku yang dicetak pada Maret 2011 ini berisi dua puluh kisah kekonyolan yang terjadi dalam rumah tangga dan dijual dengan harga Rp26.000,00.
Kesan pertama yang saya rasakan ketika mulai membaca buku ini adalah kesederhanaan tema yang muncul dalam cerita. Akan tetapi, kesederhanaan tema itu menjadi nikmat dibaca karena bahasa penulisannya cukup populer, mudah dipahami, dan mengalir bak percakapan lisan. Namun, kesan selanjutnya yang muncul adalah kegeraman, khususnya ketika saya membaca cerita pertama di halaman 9 tentang Gue vs Ayam. Salah satu nama ayam yang ada di cerita tersebut adalah AMIN. Itu kan nama belakang saya. Sudah begitu, nasib si Amin sungguh menyedihkan: menjadi ayam buruk rupa yang kakinya pincang sehingga patut dikasihani karena berjalannya susah payah. Lebih tragis lagi, nasib si Amin sungguh naas karena tewas disantap musang.
Buku ini memang buku antikemapanan. Istilah-istilah populer diplesetkan dengan cerdas dan jenaka. Simak saja kata kekerasa dalam KDRT yang diganti dengan kekonyolan, seperti kebakaran jenggot diganti dengan seperti kebakaran jilbab (h. 17), dan sampai titik darah penghabisan diganti dengan sampai tetes cendol penghabisan (h. 22).
Buku ini juga menghadirkan cerita komedi yang cerdas dengan akhir (ending) cerita yang sulit ditebak tapi mudah dimengerti. Simak saja Balsem Bikin Lengket (h. 25), Sepatu Semut di Pagi Hari (h. 33), Meringis (h. 34), atau Penyeberang Jalan (h. 35).
Buku ini juga berisi pesan mendalam dalam bentuk nasihat tersirat untuk para pembacanya. Misalnya pada kisah Tips Menjadi Ayah yang Baik: Nyogok! (h. 39) dan The Story of The Ustaz’s Wife (h. 79), dan Menjadi Nada (h. 113). Ada pula cara cerdas dalam menyelesaikan konflik rumah tangga seperti pada cerita Mesin Cuci (h. 131) My Weekend Husband (h. 125), dan Hape Zaman Es (h. 147). Buku ini juga berisi kritik cerdas yang terinspirasi dari kejadian sehari-hari seperti Episode Rumah Sakit X (h. 101) dan Doctor or Witch Doktor (h. 119).
Meskipun menurut saya, sebagai guru bahasa Indonesia, penulisan dalam buku ini tidak memenuhi standar kebakuan ejaan yang disempurnakan (EYD) dan cenderung mereduksi teori kebahasaan, isi buku ini sangat asyik dinikmati, khususnya bagi pasangan suami istri. Semoga buku ini dapat menginspirasi setiap pasangan suami istri agar dapat menjadikan masalah yang timbul sehari-hari sebagai bagian dari seni kehidupan. (NAM)
Bekasi, 2 Desember 2011

Review "Putri Malu-maluin Sejagat" by Noor H. Dee


https://www.facebook.com/notes/noor-h-dee/putri-malu-maluin-sejagat-dongeng-gokil-bukan-pengantar-tidur/10150211531406574

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dongeng adalah cerita yg tidak benar-benar terjadi (terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh). Menurut Wikipedia, dongeng adalah suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan makhluk lainnya. Menurut kamus Oxford, dongeng adalah… nggak tahu juga, deh. Soalnya belum pernah baca, sih. Menurut kamus kedokteran, walah… nggak nyambung itu mah, emangnya mau membahas penyakit sembelit! Namun menurut Mbak Beby Haryanti Dewi, dongeng adalah cerita yang mengandung vitamin TTBSGG (baca: Tertawa Terbahak-Bahak Sampai Guling-Gulingan!).

Tentu saja kamu jangan percaya begitu saja. Selain sesat dan menyesatkan, informasi itu juga sebenarnya bukan berasal dari Mbak Beby Haryanti Dewi, melainkan hasil karangan saya sendiri. Hihihi. Tapi saya jangan lantas dituduh pembohong atau tukang tipu. Saya bisa berkata kayak gitu karena saya habis membaca novel terbarunya Mbak Beby Haryanti Dewi, yang judulnya: Putri Malu-Maluin Sejagat!

Bagi kalian yang menginginkan dongeng romantis ala Cinderela, atau Putri Salju, atau Putri yang Ditukar (lho? Bukannya itu sinetron?), atau Ipin dan Upin (idih!), atau Sponge Bob (wah, makin ngaco, nih!). Stop! Back to nature, bike to work! Yeah! Intinya, dongeng Putri Malu-Maluin Sejagat karya Mbak Beby Haryanti Dewi ini jauh dari kesan romantis. Boro-boro romantis, lha wong tokoh-tokohnya gokil semua.

Putri Brinette, misalnya, dia adalah putri yang benar-benar bar-bar. Nggak anggun sama sekali. Hobinya nguber-nguber ayam, ngejar-ngejar kambing, senang menangkap kodok, dan gemar menghisap jempol kaki ketika sedang tidur (yeack!). Tidak pernah mau berdandan, tidak pernah bisa berdansa, dan selalu membuat kekacauan di dalam istana.

Tokoh yang satunya lagi adalah Putri Concetta. Dia adalah adik kandung Putri Brinette. Tokoh ini nggak kalah aneh. Hatinya halus banget, sehalus (maaf) pantat bayi. Lebih halus, malah. Lebih halus mana sama casper (makhluk halus)? Nggak usah dibahas! Saking halusnya perasaan Putri Concetta, ia langsung ingin mati jika perasaannya tersakiti. Alasan kepingin matinya juga lebay banget. Masak cuma gara-gara lihat ayam diuber-uber aja dia ingin mati? Nggak tega, katanya. Dicela sedikit sama Putri Brinette, Putri Concetta langsung lari-lari keliling istana sambil teriak-teriak kayak orang bener, “Kakak Brinette sungguh kejam! Daripada dicela kayak gitu, lebih baik aku mati ajaaa!” See? Halus banget kan perasaannya? Makanya, kalau kalian kebetulan ketemu sama Putri Concetta di jalan, jangan ngomong atau berbuat macam-macam, yak. Janji? Hehe.

Okeh, itu baru dua tokoh yang memang menjadi tokoh utama dalam novel ini. Belum lagi ditambah tokoh-tokoh yang lainnya, seperti kedua orangtua Putri Brinette dan Putri Concetta, misalnya. Dijamin kalian akan semakin yakin bahwa novel Putri Malu-Maluin Sejagat adalah novel yang memang patut dicurigai. Hmm….

Dari segi cerita bagaimana? Apalagi ceritanya! Mbak Beby pandai betul mengemas sebuah kisah menjadi novel yang lucunya nggak ketulungan. Dari awal halaman saya sudah senyum-senyum sendiri membaca awal kisah novel ini. Halaman berikutnya senyum saya semakin mengembang, halaman berikutnya apalagi, senyum saya mulai berubah menjadi cengengesan sendiri, kemudian saya tertawa geli sendiri. Terdengar agak berlebihan, memang. Namun memang itulah yang saya rasakan.

Bagi kalian yang pernah membaca karya Mbak Beby (misalnya Diary Dodol Seorang Istri) pasti akan tahu betapa Mbak Beby Haryanti Dewi itu gokilnya memang nggak main-main! Demikian halnya dengan novel gokil Putri Malu-Maluin Sejagat.

Itu sebabnya, saya sepakat dengan tulisan di kaver depan yang mengatakan bahwa Putri Malu-Maluin Sejagat adalah “Dongeng Gokil (bukan) Pengantar Tidur!

Ya iyalah, gimana mau tidur kalau ketawa melulu?! Kepada emak-emak yang sering merasa kesulitan menidurkan anaknya, saya sarankan jangan pernah sekali pun membaca dongeng ini kepada anak Anda dalam ruangan gelap. (Nggak bisa kebaca soalnya!)

Salam
Noor H. Dee alias Rex si Tukangtidur

Harga: Rp 29,500

Resensi "The Jilbab Traveler" by deE

http://dinanf.blogspot.com/2011/07/resensi-jilbab-traveler.html

“Nah, di pintu kulkas mereka bertaburan magnit souvenir dari berbagai negara. Saya suka sekali melihat souvenir kecil dengan gambar-gambar khas, yang menempel di pintu kulkas mereka. Saking sukanya saya sering berlama-lama memandangi. Cuma memandang saja tanpa berani menyentuh”
Secuil ungkapan dari Teh Asma Nadia tentang darimana mimpi berkeliling ke luar negeri itu berasal. Banyak orang yang bermimpi ingin ke luar negeri, dengan asal mimpi yang beragam. Mungkin kebanyakan orang, akan menjadikan buku ini sebagai asal mimpi tersebut. Jilbab Traveler.
Bagaimana tidak? Buku yang ditulis oleh Teh Asma Nadia dan 9 penulis muslimah lainnya (Beby Haryanti Dewi, Dina Y. Sulaeman, Hartati Nurwijaya, Dina Mardiana, Tria Barmawi, Wina Karnie, Ellina Soraya, Sitaresmi Sidharta, dan Dede Mariyah), begitu nikmat untuk dibaca. Cerita-cerita unik serta kata-kata motivasi dikisahkan dengan interaktif dan deskriptif, membawa kita masuk dalam imajinasi sedang berada di negara-negara yang diceritakan. Mulai dari benua kita, sampai ke benua-benua tetangga. Semua belahan dunia ternyata memiliki keunikan tersendiri.
Poin yang disorot dalam buku ini adalah jilbabnya. Jilbab dianggap sebagai penghambat bagi muslimah untuk melakukan perjalanan ke negeri orang. Buku ini mementahkan anggapan tersebut. Kata siapa berjilbab menghalang mimpi kita?
Buktinya, Teh Asma bisa sangat dekat bersahabat dengan Gu Kyoung-Hee Onny yang ia temui dua kali di jihacheol saat berada di Seoul, Korea. Teh Beby Haryanti Dewi juga bisa merasakan bagaimana berantakannya hotel yang ia tempati di Belanda. Simak juga cerita Teh Tria Barmawi yang dikejar-kejar oleh supir taksi saat ia diberi tugas di Karibia. Masih banyak kisah-kisah seru dan kocak lainnya di Jerman, Australia, Damaskus, Turki, Iran, Hong Kong, Paris, Amerika Serikat, sampai ke Moscow.
Kocak? Seru? Masa, sih? Ya.
Awalnya saya membayangkan akan membaca tulisan-tulisan deskriptif yang biasa kita baca di buku-buku lain, yang isinya hampir sama dengan buku geografi kita. Ternyata, dalam buku ini memberikan kesan yang berbeda. Pembaca diajak untuk berempati merasakan bagaimana cemas campur penasarannya Teh Dina Mardiana saat mendapat beasiswa ke Turki. Cemas karena harus tinggal sendiri di luar negeri tanpa orang tua, namun berkecamuk pula rasa penasaran ingin tahu bagaimana kehidupan masyarakat di negara sekuler ini, yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam dan jumlahnya konon lebih banyak daripada Indonesia. Atau kagetnya Teh Beby Haryanti Dewi, saat om dan ayahnya datang ke Jerman hanya mengenakan kaos tangan panjang dan kemeja safari, padahal saat itu suhu di Jerman mencapai -10 derajat Celcius! Lucunya lagi, saat tahu suhunya serendah itu dan merasa salah kostum, om dan ayahnya mengeluarkan sajadah dan kaos kaki dari koper mereka. Lho, mau ngapain ya? Ternyata, sajadah digunakan untuk menutup kepala dan kaos kaki dijadikan sarung tangan! Mereka berdua sukses membuat bule-bule terheran-heran.
Kisah-kisah unik tentang jilbab juga diceritakan. Kocak, sedih, kesal, semua diungkapkan dengan hikmah dan ilham yang bisa kita ambil. Dikira Madam Theresa, mode yang sedang tren, TKW, sampai ditanya panjang lebar oleh petugas visa, membuat kita lebih termotivasi untuk keliling dunia agar dunia lebih mengenal Islam dan muslim. Untuk muslimah, dapat menyebar syi’ar dengan jilbabnya. Untuk itu, akhlak baik harus disertakan yang akan menyenangkan setiap orang yang ditemui, sehingga pandangan orang tentang Islam berubah menjadi agama yang lembut namun tegas, gampang bukan gampangan, mengatur segalanya namun tidak tanpa alasan. Bukan sebagai negara teroris yang hobi meledakkan bom sana-sini atau agama yang tidak menghargai wanita dengan adanya poligami. Seperti pertanyaan-pertanyaan yang pernah dilontarkan kepada Teh Sitaresmi Sidharta. Untuk itu, teteh yang satu ini menganjurkan kita untuk memperdalam Bahasa Inggris dan Islam. Beberapa penulis juga mengungkapkan bahwa kita tidak perlu takut berjilbab, karena jumlah muslimah berjilbab di negara asing juga tidak sedikit. Wow!
Selain itu, yang namanya tinggal di negeri orang, terutama di negara dengan muslim yang minoritas, kendala utama adalah tempat ibadah dan makanan halal. Berbeda dengan Indonesia yang masjidnya berlimpah, sampai-sampai bingung pilih masjid yang mana; muslim di luar negeri memenuhi kebutuhan akan sayang dan cintanya Allah SWT di museum, perpustakaan, subway station, bahkan di taman! Hunting makanan halal juga tidak kalah serunya. Kita harus berterima kasih pada orang-orang Turki, Maroko, Bangladesh, dan Pakistan yang terlebih dulu berimigrasi ke sana dan menyediakan makanan halal di tokonya.
Hola. Como esta usted? (Halo, apa kabarmu?)
Goed, dank u. (Baik, terima kasih.)
Gabsida! (Jalan, yuk!)
La (tidak)
Wah, kok saya jadi pintar beberapa bahasa gitu? Ya iyalah, karena di buku ini juga dituliskan secuil kamus survive dari negara-negara yang diceritakan oleh penulis. Bahasa Belanda, Spanyol, Damaskus, Korea, Jerman, Turki, dan masih banyak lagi. Selain kamus, ada pula berbagai macam tips yang bisa diterapkan saat kita ke luar negeri. Termasuk tips bagaimana agar perjalanan yang kita lakukan malah mendekatkan kita pada Allah SWT, bukan malah menjauhkan. Agar perjalanan kita bernilai ibadah, yang akan dicatat sebagai amalan. Jangan sampai perjalanan kita malah mendekatkan kita pada setan, sehingga akhirnya kita terjerembab pada perbuatan yang dilarang oleh Allah. Mengingat di negara lain yang komunitas muslimnya minor, banyak sekali godaan-godaan yang ditemukan.
Padat berisi. Sarat makna. Inspiratif. Fresh. Inilah kesan yang ditimbulkan setelah membaca buku ini.
Mungkin bisa dibuat chapter 2-nya, karena ternyata dalam buku ini belum ada pengalaman dari Benua Afrika. Mesir, Kenya, Ethiopia, atau Afrika Selatan. Atau ada gak ya, muslimah yang sudah melancong ke Arktik dan Antartika?
Foto-foto perjalanan juga bisa lebih diperbanyak, sehingga dapat dibayangkan tuh, bagaimana keindahan pantai di Karibia, Victoria Park-nya Hongkong, sampai bagaimana menyedihkannya hotel di Belanda yang disewa oleh keluarga Teh Beby Haryanti Dewi. He he, walau hanya melihat dari fotonya saja. Meskipun dari tulisannya juga sebenarnya sudah cukup membuat kita berimajinasi.
Layaknya buku untuk traveler yang berjilbab, akan lebih informatif bila disajikan daftar alamat masjid atau islamic center dari negara yang dikunjungi oleh penulis. Terutama, negara yang penduduk muslimnya minoritas.
Ilustrasi perempuan berjilbab yang imut nan cute di bagian tips atau cover halaman belakang, sangatlah menarik. Tokoh yang ekspresif. Mungkin akan lebih seru bila dibuat cerita bergambarnya juga (komik), dengan tokoh perempuan ini, yang sedang menceritakan pengalaman-pengalaman seru yang dialami oleh penulis-penulis. Yaa, sekadar dua atau tiga cerita.
Buku yang sangat menarik dari Asma Nadia Publishing House. Membangun mimpi jilbaber Indonesia agar tidak takut untuk berkeliling dunia. Justru dengan berkeliling dunia, dapat ikut menyebarkan syiar tentang Islam. Wow, udah jalan-jalan, dapat pahala lagi. Seperti tagline pada buku tersebut “Berjilbab nggak berarti kamu nggak bisa keliling dunia!”. (DNF)

*Diikutsertakan dalam Lomba Menulis Resensi Buku oleh Penerbit ANPH

Resensi "Indonesia Jungkir Balik" by Deden Ridwan

http://www.mizan.com/news_det/jungkir-balik-untuk-indonesia.html

APAKAH yang akan Anda jawab bila ada orang bertanya tentang seberapa cinta Anda pada Indonesia? Seberapa dalam perasaan itu? Pernahkah ia meluntur? Mungkin bisa jadi perasaan tak pernah tumbuh subur, dan malah tak pernah berkecambah sama sekali? Semua jawaban menjadi hak Anda. Saya hanya sekadar berusaha mempertanyakan ulang posisi pribadi saya di tengah masyarakat dan alam Indonesia yang konon, gemah ripah loh jinawi. Secara sosiologis-antropologis, saya adalah Manusia Indonesia yang tumbuh di pedalaman Jawa Barat-lengkap dengan atribut yang menempel dan mengikuti hidup saya hingga saat ini. Namun secara kultural-intelektual, saya menjadi besar di banyak tempat: rumah, sekolah, pesantren, kampus, ruang publik, kantor, masjid, pasar, jalan raya, sawah, laut, dan udara. Semua tempat itulah yang kini membuat saya meng-Indonesia.
Saya menjadi Indonesia di banyak ruang dan dengan banyak cara. Setidaknya saya masih beritikad baik untuk merayakan hadirnya Indonesia dalam diri dan hidup keseharian di tengah masyarakat. Namun, cukupkah? Tampaknya belum. Lantas apalagi yang harus saya dan kita lakukan? Mengingat saat ini negeri tercinta kita tengah terluka parah. Satu-satu halaman yang Anda baca sekarang tak cukup untuk mengurai benang kusut yang tengah melilit kita bersama. Indonesia kita pergi entah kemana. Kini ia hanya sekadar menjadi nama. Label belaka. Tanpa makna. Indonesia bahkan kehilangan ruhnya sebagai sebuah gagasan. Benar-benar menjadi imagined communities (masyarakat terbayangkan) sebagaimana yang dirumuskan oleh Bennedict Anderson. Lebih tepatnya, menjadi masyarakat yang selalu terbayangkan negatif karena hampir seluruh organ penyangga negeri ini sakit keras.
Kita sadar. Sangat lumrah. Cerita tentang pesakitan Indonesia memang sudah menjadi peristiwa sehari-hari. Tengok saja berita yang menghiasi lembaran-lembaran surat kabar setiap pagi dan sore. Isinya, hampir semua negatif. Kekerasan membuncah. Korupsi terus dirayakan. Demokrasi sakit. Politik sakit. Pendidikan sakit. Pemimpin: lebih sakit lagi! Indonesia tampil seolah tanpa tuan. Tak puas sampai di situ, coba simak penampilan-penampilan impresif di layar kaca: mempertontonkan kebodohan. Semua peristiwa itu menjelma menjadi grand-narrative yang hadir setiap waktu di relung-relung hati publik. Kehadirannya jelas tak kita kehendaki. Pun bertentangan dengan akal sehat. Namun, mereka tetap hadir dengan paksa lewat kekuatan fenomena budaya yang dahsyat.
Kalau begitu, masih menyakinkankah Indonesia ini? Negeri penuh paradoks. Barangkali sebuta yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi jungkir-balik Indonesia saat ini. Di satu sisi, kita menyaksikan drama kolosal orang-orang yang “menghajar” Indonesia beserta artifak-artifaknya yang artifisial. Fenomena devaluasi radikal tentang Indonesia merajalela di mana-mana. Di sisi lain, kita menyaksikan pula orang-orang yang “mengajar” Indonesia melalui narasi ekcil, terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Pulau Rote. Mereka dengan antusias menebar rasa optimistik dan positif tentang Indonesia di tengah-tengah kultur yang sedang sakit; membangun “kesempatan” di tengah “kesempitan”. Meskipun mereka mungkin baru lelengkah halu-baru tahap belajar berjalan apabila diibaratkan dengan seorang anak manusia. Mereka benar-benar mengabdikan dirinya pada-memakai istilah Anthony Giddens-“politik kehidupan” (life politics) yang berpusat pada masyarakat. Di ruang itulah gagasan tentang Indonesia kembali diperbincangkan. Ditanamkan. Kita kembali belajar menjadi Indonesia. Tak peduli apapun kondisi negeri ini.
Kondisi paradoks tersebut justru membuka jalan kecil bagi kita untuk tetap bersikap optimistik. Namun, strategi menumbuhkan pikiran oprimistik itu kita tempuh melalui cara yang unik: dekonstruksi Indonesia! Dengan menampilkan apa-adanya kondisi kebobrokan Indonesia, malahan membuat kita jadi melek. Ya, kita disadarkan untuk berpikir antisipatif sebelum Indonesia benar-benar hilang dari peta dunia. Semoga begitu. Apalagi kebobrokan itu dilukiskan dalam bentuk tema sederhana yang cukup beragam dengan cara solilokui, marah, parodi, dan olah pikir. Sesekali kita diajak tertawa, jengkel, sedih, dan berpikir sekaligus. Namun, itu semua mengkristal pada satu kata: kerinduan akan Indonesia yang lebih bermartabat. Dari dekonstruksi ke rekonstruksi. Barangkali itulah benang merah buku ini.
***
Sebagai sebuah tawaran, lagi-lagi saya hanya sekadar ingin melengkapi kekuatan buku ini. Tak lebih. Caranya mudah saja. Mari kita sama-sama menekurinya. Pertama, saya Manusia Indonesia yang berdarah asli Sunda. Lahir dan tumbuh di tatar Sunda, lalu besar di Ibukota. Benarkah saya murni Sunda? Tidak. Dari segi kesenian saja, Sunda sudah terpengaruh banyak budaya luar, misalnya dari Tiongkok (Cina). Alam pikir saya jelas sudah tercampur dengan alam pemikiran budaya dan bangsa lain. Uniknya, percampuran itu malah menjadi Indonesia. Dalam gagasan kebangsaan, saya meng-Indonesia. Namun secara, primordial, saya kembali menjadi Sunda.
Kedua, kasus di atas bukan hanya terjadi pada saya. Selama dalam darah Anda ada rasa Indonesia, besar kemungkinan Anda juga mengalaminya. Ke mana pun kaki Anda melangkah di bumi ini. Bagi mereka yang sudah melanglang ke mancanegara, pasti pernah merasakan rindu yang teramat sangat saat berjauhan dari Ibu Pertiwinya. Bagi yang belum pernah, jangan khawatir. Anda cukup melihat ada begitu banyak bangsa lebur di sini sejak dulu sekali-dan serta merta menjadi Indonesia. Orang Yaman yang mendarat di Solo, kemudian menjadi orang Solo; bangsa Portugis menjadi orang Tugu di Jakarta (dulu Batavia). Bahkan ada yang lebih unik: orang Jawa yang di Pulau Jawa dan orang Jawa di Pulau Sumatera, ternyata bukan Jawa yang sama. Inilah yang membuat negeri kita unik bukan kepalang. Keunikan ini pula yang membuat negeri kita terus bertahan dari segala gempuran zaman. Sejarah telah membuktikannya.

Sebobrok-bobroknya Indonesia, ya tetap rumah kita juga. Kita tak mungkin tinggal diam dan tak peduli. Setidaknya, sebuah cara sederhana harus dipikirkan untuk melakukan perbaikan. Sedikit-banyak kita harus mulai menabung bukan? Saya lebih suka menyebutnya sebagai tabungan positif. Bila pemimpin kita tak lagi bisa diandalkan dan dipercaya, marilah mulai mengandalkan-mempercayai diri sediri demi melakukan sedikit perubahan (law of attraction). Mudahnya, jika sejuta orang Indonesia memakai pola penalaran seperti itu, dapatkah Anda bayangkan seperti apa efeknya dalam kehidupan bernegara kita? Inilah cara ketiga yang bisa diterapkan bersama-sama dan serentak.Kehadiran buku “Indonesia Jungkir Balik” ini—yang di dalamnya terdapat buah pena bermutu dari Beby Haryanti, Iwok Abqary, Boim Lebon, Bre Redana, Prie GS, Edhie Prayitno, Ainun Chomsun, Adhitya Mulya. Yusran Darmawan, dan Fahd Djibran—adalah sebentuk upaya kecil nan sederhana, tetapi berefek besar. Sepuluh penulis terpilih itu, berasal dari disiplin ilmu berbeda dengan kompleksitas hidupnya masing-masing. Seperti juga kita yang terus pontang-panting, lintang-pukang, jungkir-balik dari hari ke hari, sepuluh penulis kita itu juga telah melakukan hal yang sama. Akrobatik pikiran mereka, berhasil menjungkirbalikkan pemahaman saya tentang Indonesia sebagai sebuah lokus pikiran dan gagasan; Sebuah negeri dan Negara; Sekumpulan manusia yang berinisiatif untuk hidup bersama dalam kejamakan yang satu. Mari bergegas menyambut fajar Indonesia Baru. Selamat membaca.(***)
*Deden Ridwan. CEO Noura Books, penggiat konten dan buku.

Buku Terbaru Penulis Aceh "Indonesia Jungkir Balik"

http://www.atjehcyber.net/2013/03/indonesia-jungkir-balik.html
PENULIS Aceh Beby Haryanti Dewi kembali mengeluarkan karya baru. Beberapa buku terbarunya yang baru terbit adalah Indonesia Jungkir Balik, The Jilbab Traveler dan Catatan Hati di Setiap Doaku. Selain itu juga ada bukunya yang akan segera terbit yaitu The Siblings: Hilangnya Duplikat Pedang Nabi.

“Buku Indonesia Jungkir Balik sudah terbit pada Januari 2013, bercerita tentang carut marut Indonesia,” katanya kepada ATJEHPOSTcom hari ini, Rabu, 13 Maret 2013.Dari beberapa buku tersebut Beby terkesan dengan buku Indonesia Jungkir Balik, pasalnya buku tersebut berupa antologi yang ditulis bersama penulis-penulis ternama di Indonesia.

“Penulisnya keren-keren lho, dipilih sama penerbitnya makanya saya senang bisa mejeng bareng mereka,” kata Beby yang juga editor buku.


Indonesia Jungkir Balik diterbitkan oleh Noura Book Publishing, ditulis oleh sepuluh penulis Indonesia yaitu Adhitya Mulya, Prie GS, Ainun Chimsun, Bre Redana, Muhammad Yusran Darmawan, Edhie Prayitno Ige, Boim Lebon, Iwok Abqary dan Beby sendiri.

Buku ini menceritakan tentang Indonesia dari berbagai sisi mulai soal pendidikan, moral, budaya. Namun ditulis dengan gaya kritis, lucu, ironis dan reflektif.

Beby mulai menggeluti dunia tulis menulis sejak tahun 2006. Selain penulis, ibu tiga anak ini juga seorang editor, trainer penulisan dan pengajar bahasa Jerman. Ia alumni Fakultas MIPA Unsyiah dan pernah bekerja sebagai karyawan PT BNI. Karya-karyanya dikenal dengan gaya-gaya jenaka dan kocak. | AtjehPost

Jumat, 05 Juli 2013

Kalau Bukan Miyako, Berisik!

Sejak mengetahui khasiat jus sayur dan buah, saya jadi keranjingan minum jus, sehingga saya memutuskan untuk membeli juicer. Saat itu, karena masih coba-coba, saya membeli juicer—sebut saja mereknya—X.

Tapi, saya kok kerepotan, ya? Bayangkan, sebelum mengejus wortel, saya harus memotongnya kecil-kecil, lalu saat mengejus pun saya masih harus berhenti sebentar-sebentar. Ya, kapasitas tampung ampasnya yang kecil membuat saya bolak-balik harus membongkar juicer untuk mengeluarkan ampasnya. Sudah dapat dipastikan dapur saya menjadi kotor dan berantakan akibat tetesan jus dan ampas wortel yang berceceran. Aduh, repot amat!
Namun, di samping semua itu, ada hal yang benar-benar menjengkelkan saya. Suara juicer X itu ... ya ampun ... kayak suara traktor! Besar banget, sampai-sampai kedengaran ke rumah tetangga!
“Mbak Beby suka bikin jus, ya?” tanya tetangga saya suatu sore di jalan depan rumah.
“Eh, kok, tahu? Kedengeran, ya, suaranya?” tanya saya dengan muka merah padam.
“Hehehe, iya!” jawabnya lagi sambil tertawa.
Olala! Malu-maluin saja!
Tak sampai di situ, seminggu kemudian, juicer X mulai berulah. Setiap kali beroperasi, onderdilnya “bubar” semua. Saya sampai panik dan mengerahkan anak-anak untuk memegang/menekan kuat bagian atas dan samping agar perangkatnya tidak copot satu per satu! Kebayang, kan, seperti apa hebohnya satu keluarga berjuang demi mendapatkan segelas jus? Tak ayal, membuat jus pun menjadi rutinitas yang mengerikan dan menyebalkan, juga bikin saya “jamuran” di dapur saking lamanya!
Suaranya? Jangan ditanya, bertambah-tambahlah berisiknya. Kalau dulu cuma brrrkkk ... brrrkkkk ... brrrkkk, sekarang menjadi GEDUBRAKKK ... GUBRAKK ... BRAKKK ... BRUAKKK! Serasa mau rontok dapur saya! 
Merasa dianiaya oleh sebuah juicer, saya pun diam-diam berdoa agar juicer X cepatlah rusak total agar hidup saya lebih tenang dan damai. Alhamdulillah, tak menunggu lama, barang rongsokan itu benar-benar berakhir masa hidupnya.
Saya pun kembali membeli juicer, dan kali ini saya terkesan melihat juicer merek Miyako. Tak hanya lebih besar, model dan warnanya yang kalem pun membuat saya langsung terpikat. Yang paling penting, harganya tidak terlalu mahal. Apalagi, memang barang-barang elektronik di rumah saya kebanyakan bermerek Miyako; dispenser, rice box, mixer, pembuat sandwich, dan blender; yang sudah teruji daya kerja dan daya tahannya, menarik desainnya dan dapat mempercantik dapur.  
Blender, merek Miyakonya sudah hilang saking tua umurnya.

Pembuat sandwich, simpel dan elegan, mempercantik pantry saya

Misalnya, pembuat sandwich Miyako saya pakai sampai bertahun-tahun dan baru rusak akibat dijatuhkan hingga pecah oleh anak saya. Padahal, pembuat sandwich itu saya bawa pindah ke Jerman, lho, yang berarti terjadi perubahan dalam pelistrikan, tapi tetap awet, tuh! Ketika kemudian saya membeli lagi pembuat sandwich Miyako, anehnya, harganya tak jauh berubah daripada harga pertama kali saya membelinya saat baru lulus kuliah! Padahal beda waktunya enam belas tahun, lho. Wah, stabil banget harganya, ya! Takjub saya.
Mixer, bikin kue secepat kilat

Rice box dan dispenser, saling mendukung :D
Pilihan saya terhadap juicer Miyako memang tak salah. Membuat jus jadi simpel banget. Saya cukup memasukkan wortel utuh yang telah dikupas ke dalam juicer Miyako, tampung jusnya, beres, deh! Tinggal glek!
Ini pahlawan jus saya!

Ampasnya? Biarkan saja, karena daya tampung ampas juicer Miyako sangat besar. Mau bikin jus lagi? Ayo saja! Tak perlu buang ampasnya dulu. Saya hanya perlu membuangnya satu kali saat akan dicuci pada malam hari setelah aktivitas membuat bermacam jus selesai. Wow, santai banget, kan?
Dan yang paling utama, suara juicer Miyako tidak berisik seperti juicer X yang suka “meraung-raung”. Normal sajalah. Beda banget sama juicer X yang bagai membuat “pengumuman bikin jus” ke tetangga. Membuat jus menjadi sangat mudah dan menyenangkan, dan tentu saja saya bertambah sehat, dong! 
Yang jelas, saya nggak bakalan lagi coba-coba merek barang elektronik selain Miyako. Berisik, sih! Semakin cinta, deh, dengan Miyako! [Be] 


(Artikel ini menjadi pemenang 5 dalam Blog Competition yang diselenggarakan oleh Miyako Indonesia)   

Jangan Khawatir Mengunjungi Schloss Sans Souci!

Ya. Schloss Sans Souci memang berarti istana tanpa kekhawatiran. Schloss (bahasa Jerman) berarti istana, sedangkan sans souci (bahasa Prancis) berarti tanpa kekhawatiran. Raja Friedrich II, raja Prusia yang membangun istana ini pada tahun 1744, memang menjadikan Schloss Sans Souci sebagai tempat berstirahat di musim panas, terlepas dari beratnya tugas-tugas kenegaraan. Istana cantik ini terletak di kota Potsdam, negara bagian Brandenburg, Jerman.
13730022791338611691
Schloss Sans Souci
1373003635653052167
Suatu hari di pengujung musim panas, usai melakukan perpanjangan paspor di Berlin, saya dan keluarga menyempatkan diri mengunjungi kota Potsdam, sebuah kota bersejarah yang ditetapkan sebagai salah satu situs kebudayaan dunia oleh UNESCO. Jarak antara Berlin dengan Potsdam memang tidak terlalu jauh, sekitar 30 kilometer dan hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit dengan kereta.
Dari stasiun kereta, bisa dilanjutkan dengan bus. Tidak jauh, kok. Jangan khawatir! :D
1373003706548156968
13730024931685909397
Gerbang depan istana, tapi masuknya bukan dari sini
Saat itu cuaca sudah mulai dingin karena musim gugur mulai menyapa, ditambah hujan rintik-rintik yang terus membasahi, membuat kami harus merapatkan jaket dan tak melepas topi. Kami duduk menunggu di teras istana hingga hujan agak reda sambil menikmati pemandangan di sekitarnya.
137300294266569662
Menunggu hujan
137300375251562484
Terlihat banyak orang berpayung yang sedang mengantre untuk masuk ke dalam bangunan istana. Kami sendiri tak berniat masuk ke dalam istana karena harga tiketnya yang cukup mahal, sekitar 17 Euro per orang. Terlebih, paling-paling seperti peraturan di istana-istana lain yang pernah kami kunjungi, kemungkinan besar pengunjung dilarang untuk memotret. Padahal yang perlu, kan fotonya, hehehe.
13730029952091159625
Antrean masuk ke istana
1373003214797648999
Bangunan Schloss Sans Souci inikalau dilihat-lihatmirip dengan Schloss Schoenbrunn di Austria yang sama-sama berwarna kuning cerah, namun berukuran lebih kecil. Bagian tengah Schloss Sans Souci berbentuk bundar dengan kubah berwarna hijau. Sayap Timur merupakan istana raja, sedangkan sayap Barat adalah ruangan untuk tamu. Sama seperti Schloss Schoenbrunn, Schloss Sans Souci juga disebut-sebut sebagai saingan Istana Versailles, Prancis. Tapi, sepertinya kecantikan dan kemegahan Istana Versailles cuma bisa ditandingi oleh Istana Schoenbrunn.
1373003261786694336
Taman istana
13730034872055909685
Itu pohon anggurnya
Yang menarik dari Schloss Sans Souci adalah taman dan kebunnya yang sangat luas dan dibuat bertingkat-tingkat sehingga kami harus melewati banyak tangga untuk pergi ke sana. Kolam besar dengan air mancur di tengahnya melengkapi keindahan taman ini. Sementara itu, pohon anggur dibiarkan merambat di sisi tangga, di pagar, maupun di dinding gazebo taman. Wow, kalau pohon anggurnya berbuah, tinggal petik, dong!
13730033901324468973
Gazebo taman
13730034361144620113
Setelah puas melihat-lihat istana dan taman, kami bergerak menuju Historische Windmuehle atau Historic Windmill of Sans Souci, kincir angin bersejarah yang masih berada di lingkungan istana. Kincir angin ini dibangun dengan gaya Belanda pada tahun 1738, beberapa tahun lebih dahulu dibandingkan Schloss Sans Souci sendiri. Sempat hancur terkena bom dalam Perang Dunia II, kincir ini kemudian direnovasi kembali setelah telantar bertahun-tahun. Kini, Historische Windmuehle menjadi museum dan terbuka untuk pengunjung, di mana pengunjung dapat melihat dari dekat bagaimana kincir tua ini bekerja.
1373003557426808987
Historic Windmill
1373003938541424814
Ada odong-odong buat keliling
Cukuplah beberapa jepretan untuk mengabadikan keberadaan kami di sekitar kincir angin tua tersebut. Kiranya waktu serta cuaca dingin dan basah sudah tak memungkinkan kami untuk berlama-lama di luar lagi, terlebih karena kami membawa anak-anak. Kalau soal ini, boleh, deh, sedikit khawatir masuk angin. :D Kami pun memutuskan segera kembali ke Berlin untuk kemudian pulang ke Leipzig.[Be]

(Tulisan ini menjadi headline www.kompasiana.com tanggal 5 Juli 2013).