Kuda tunggang, itulah nama permainan tradisional favorit saya saat
masih duduk di bangku SD tahun 80-an. Di tanah kelahiran saya, Desa
Rantau Pauh Aceh Tamiang, permainan ini sangat populer di kalangan
anak-anak, terutama di sekolah.
Permainan
kuda tunggang dimainkan oleh dua tim yang umumnya terdiri dari 3 sampai
5 orang anak. Seorang wasit dipilih sebagai tumpuan kuda pertama,
sekaligus sebagai juru suit. Nah, siapa yang menjadi kuda-kudanya? Tentu
saja anak-anak anggota salah satu tim yang mendapat giliran menjadi
“pecundang”, sementara anak-anak tim yang satunya lagi menjadi
penunggang mereka.
Tim
Pecundang sebagai kuda tunggangan harus berderet ke belakang dengan
posisi badan membungkuk seperti sedang rukuk. Anak-anak anggota tim ini
harus memeluk pinggang anak yang membungkuk di depannya dengan erat,
sedangkan kepala dimiringkan ke samping agar tidak mencium punggung anak
tersebut. Kaki-kaki mereka disiapkan agar cukup kuat menahan beban
tunggangan nantinya. Sementara wasit bersender pada dinding, baik
dinding tembok, batang pohon, atau apa pun yang bisa dijadikan senderan,
dan kuda pertama akan memeluk pinggang wasit. Wasitlah yang mengawasi
jalannya permainan, apakah ada yang curang, apakah ada penunggang yang
kakinya menyentuh tanah, dan sebagainya.
Setelah
Tim Pecundang siap tempur, anak-anak Tim Penunggang akan meloncat satu
per satu menaiki punggung Tim Pecundang. Biasanya sebelum melompat, penunggang mengambil
ancang-ancang terlebih dahulu dengan mundur beberapa langkah ke
belakang, lalu berlari kecil dan melompat dengan kedua tangan bertumpu
pada punggung kuda tunggang, kemudian mendarat duduk di atasnya. Begitu semua anggota Tim
Penunggang sudah berada di atas punggung Tim Pecundang, anak yang
melompat terakhir kali harus melakukan
suit jari dengan wasit. Jika Tim Penunggang menang dalam suit ini, berarti mereka
boleh tetap menjadi tim penunggang. Tetapi jika kalah, mereka harus
bertukar tempat dengan Tim Pecundang, alias menjadi kuda tunggangan.
Bagi
saya dan teman-teman, hampir tiada hari tanpa bermain kuda tunggang.
Biasanya kami bermain saat jam istirahat di halaman belakang sekolah
yang teduh. Ya, permainan kuda tunggang ini memang sangat menguras
energi sehingga pemainnya merasa kepanasan dan kegerahan. Bagaimana
tidak? Baik menjadi kuda tunggangan maupun menjadi penunggang, keduanya
sama-sama capek. Kuda tunggangan babak belur menahan beban penunggang,
sementara penunggang juga capek karena harus melompat sejauh mungkin
agar dapat duduk di atas kuda dengan masih menyisakan tempat bagi
penunggang selanjutnya. Tak heran jika para pemain kuda tunggang ini
selalu banjir keringat dengan muka merah padam!
Saya
sendiri dikenal oleh teman-teman sebagai jagoan kuda tunggang. Walaupun
biasanya para pemain kuda tunggang dipilih berdasarkan bentuk tubuhnya
yang besar dan kuat, itu tidak berlaku bagi saya yang bertubuh kurus dan
kecil. Ya, meskipun saya kelihatan “ringkih”, tapi saya sangat gesit
dan jitu. Lompatan saya sangat jauh, tajam, dan tepat sasaran ketika
naik ke atas kuda tunggangan. Tim Pecundang akan “keder” menerima
lompatan saya, yang membuat mereka terenyak ke bawah saking kerasnya
pendaratan yang saya lakukan. Kalau kaki mereka tak siap dan kuat,
mereka akan ambruk seketika. Bagi Tim Pecundang, tak penting apakah saya
menjadi penunggang giliran pertama, tengah, atau terakhir. Semuanya
sama-sama berbahaya!
Kalau
saya menjadi penunggang pertama, baik kuda pertama maupun wasit harus
rela mendapat “serudukan” kencang dari saya. Wasit akan meringis menahan
sakit di perutnya, sementara kuda pertama juga kesakitan karena
kepalanya kejeduk tembok karena saya berhasil melompat sampai ke
lehernya. Saya menyisakan masih banyak sekali tempat bagi anggota tim
saya, Tim Penunggang, sehingga tak masalah kalau lompatan anggota tim
saya pas-pasan.
Kalau
saya mendapat giliran melompat terakhir juga tak apa-apa. Biasanya,
anggota tim saya sudah bertumpuk-tumpuk di kuda paling belakang karena
lompatan mereka tidak terlalu jauh. Saya, dengan badan yang kecil dan
ringan ini, dapat melompat dengan mudah naik ke atas tubuh-tubuh anggota
tim saya untuk membentuk gundukan tinggi! Tinggallah si kuda yang
malang menahan semua berat tubuh kami.
Kalau saya harus menjadi pecundang atau kuda tunggangn, dengan badan kurus begini tentu tak kuat menahan beban, saya akan "dilindungi" dengan kerap ditempatkan pada posisi kuda pertama. Tak banyak anak yang mampu mencapai pendaratan di atas kuda pertama karena memerlukan lompatan yang jauh. Jadi, saya tetap aman. :D
Kalau saya harus menjadi pecundang atau kuda tunggangn, dengan badan kurus begini tentu tak kuat menahan beban, saya akan "dilindungi" dengan kerap ditempatkan pada posisi kuda pertama. Tak banyak anak yang mampu mencapai pendaratan di atas kuda pertama karena memerlukan lompatan yang jauh. Jadi, saya tetap aman. :D
Itu
sebabnya, tim yang ada saya di dalamnya hampir selalu menjadi pemenang
dalam permainan kuda tunggang ini. Tak jarang saya menjadi rebutan agar
bersedia menjadi anggota salah satu tim. Rayuan maut, rayuan Pulau
Kelapa, semuanya dilancarkan untuk merebut hati saya. Bagi saya sendiri,
tak masalah mau masuk tim yang mana karena saya selalu punya cara untuk
mengatur lompatan saya. Kalau menang atau kalah dalam suit, itu hanya
soal keberuntungan.
Tetapi,
ternyata saya hanya menjadi jagoan dalam kuda tunggang, sementara dalam
permainan kuaci saya selalu menjadi pecundang. Yang dimaksud dengan
kuaci di sini adalah mainan berukuran kecil yang terbuat dari plastik
atom berbentuk berbagai macam benda, buah, atau hewan. Cara bermainnya
dengan melempar beberapa kuaci ke lantai atau tanah yang telah diberi
garis pembatas, lalu gacuk (kuaci andalan pemain) dilempar dengan cara
seperti mematuk agar mengenai kuaci milik lawan. Kalau berhasil, maka
semua kuaci yang dilempar tadi menjadi milik di pelempar.
Saya
kalah melulu dalam permainan kuaci ini. Sekantong plastik kuaci yang
saya bawa dari rumah pun habis dalam sekejap. Raut muka saya selalu
cemberut sepanjang permainan karena kesal sekaligus menahan tangis. Hm
... bolehlah saya garang waktu main kuda tunggang, tetapi ternyata
cengeng saat main kuaci!
Sayang
sekali permainan kuda tunggang tak saya temukan lagi zaman sekarang
ini. Padahal, permainan tradisional ini sangat seru dan dapat dimainkan
di mana saja. Apalagi, selain tak memerlukan biaya, kuda tunggang ini
juga bisa dijadikan sebagai alternatif olahraga bagi anak-anak. Selain
itu, permainan yang memerlukan kerja sama tim yang baik ini juga dapat
mendidik anak agar tidak egois dan terbiasa saling menolong dalam
keseharian.
Baru tau ada permainan ini. Tfs, kak :-)
BalasHapusini asyik banget maininnya, mb Leyla. seru ngakak abis deh pokoknya
HapusWow, membayangkan jd kuda. Jadi berasa ngilu lutut saya, Mbak Baby :)
BalasHapushehehe, iyaaa, harus pake kaki gajah biar anteng kali yaaa xixiix
Hapus