Jumat, 05 Juli 2013

Melucu Pun Ada Takarannya

Baru-baru ini saya membaca sebuah novel remaja bergenre komedi, tetapi tak sampai habis, sih.
Kenapa? Tak lucukah ceritanya?
Doch ... kata orang Jerman. Lucu, kok. Lucu banget malah. Setiap kalimat bahkan mungkin setiap kata di novel tersebut lucu-lucu. Bisa saya katakan, novel tersebut penuh dengan kelucuan. Saking banyaknya kalimat/kata lucu, sampai-sampai saya tak tahu lagi bagaimana alur ceritanya.
Yap ... inilah masalahnya!

Menulis cerita lucu sering kali dianggap menulis plus, plus-nya ya itu tadi ... lucu. Tetapi, hati-hati. Jangan terjebak untuk melucu sepanjang jalan cerita, sehingga mengubur cerita sesungguhnya yang ingin disampaikan. Dan, pembaca pun akan menyingkirkan cerita lucu tersebut, karena capek disuguhi humor melulu.

Kelucuan harus dibangun. Pembaca harus dipersiapkan untuk menerima humor yang akan datang pada kalimat selanjutnya. Humor yang terlalu penuh dan menguasai seluruh cerita justru akan saling membunuh. Kalimat pertama lucu, kalimat kedua, ketiga, dst. lucu. Kapan sempat pembaca tertawa? Pembaca akan eneg dengan humor-humor yang saling berebut perhatian tersebut. Dan, ujung-ujungnya, kalimat-kalimat lucu itu pun tak lagi spesial, tak lagi mengentak, dan tak lagi bikin pembaca tertawa, singkatnya ... TAK LUCU.

Melucu pun ada takarannya. Sesuatu dikatakan lucu, apabila ada sesuatu yang tak lucu di sekitarnya. Kalau semuanya lucu, apa lagi yang harus ditertawakan? Toh, semua yang lucu sudah menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja.

Menulis di genre komedi memang penuh tantangan dan menguras otak. Tak seperti hasilnya yang bikin orang tertawa dan fresh, sesungguhnya mengerjakan naskah komedi itu bikin penulisnya pusing tujuh keliling karena berpikir keras untuk meramu sebuah cerita yang apik dengan bumbu humor, termasuk memasukkan humor pada tempat yang tepat dan di saat yang tepat. Semua harus pas. Tawa/senyum pembaca taruhannya!

Menulis di genre komedi dengan semangat melucu memang sudah keharusan, karena di situ letak daya jualnya. Tetapi, bukan berarti penulisnya harus melawak sepanjang cerita. Penulis bisa capek melucu, pembaca juga bisa capek disuruh ketawa terus.

Nah, ramulah kisah dengan humor yang tepat sasaran dan tepat kesempatan, sehingga pembaca bisa menerimanya sebagai humor dan mengetahui bahwa inilah saatnya bagi mereka tertawa. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar