Baru-baru ini saya membaca sebuah novel remaja bergenre komedi, tetapi
tak sampai habis, sih.
Kenapa? Tak lucukah ceritanya?
Doch ... kata
orang Jerman. Lucu, kok. Lucu banget malah. Setiap kalimat bahkan
mungkin setiap kata di novel tersebut lucu-lucu. Bisa saya katakan,
novel tersebut penuh dengan kelucuan. Saking banyaknya kalimat/kata
lucu, sampai-sampai saya tak tahu lagi bagaimana alur ceritanya.
Yap ...
inilah masalahnya!
Menulis cerita lucu sering kali dianggap menulis plus, plus-nya ya itu
tadi ... lucu. Tetapi, hati-hati. Jangan terjebak untuk melucu
sepanjang jalan cerita, sehingga mengubur cerita sesungguhnya yang
ingin disampaikan. Dan, pembaca pun akan menyingkirkan cerita lucu
tersebut, karena capek disuguhi humor melulu.
Kelucuan harus dibangun. Pembaca harus dipersiapkan untuk menerima
humor yang akan datang pada kalimat selanjutnya. Humor yang terlalu
penuh dan menguasai seluruh cerita justru akan saling membunuh. Kalimat
pertama lucu, kalimat kedua, ketiga, dst. lucu. Kapan sempat pembaca
tertawa? Pembaca akan eneg dengan humor-humor yang saling berebut
perhatian tersebut. Dan, ujung-ujungnya, kalimat-kalimat lucu itu pun
tak lagi spesial, tak lagi mengentak, dan tak lagi bikin pembaca
tertawa, singkatnya ... TAK LUCU.
Melucu pun ada takarannya. Sesuatu dikatakan lucu, apabila ada sesuatu
yang tak lucu di sekitarnya. Kalau semuanya lucu, apa lagi yang harus
ditertawakan? Toh, semua yang lucu sudah menjadi sesuatu yang
biasa-biasa saja.
Menulis di genre komedi memang penuh tantangan dan
menguras otak. Tak seperti hasilnya yang bikin orang tertawa dan fresh,
sesungguhnya mengerjakan naskah komedi itu bikin penulisnya pusing
tujuh keliling karena berpikir keras untuk meramu sebuah cerita yang
apik dengan bumbu humor, termasuk memasukkan humor pada tempat yang
tepat dan di saat yang tepat. Semua harus pas. Tawa/senyum pembaca
taruhannya!
Menulis di genre komedi dengan semangat melucu memang sudah keharusan,
karena di situ letak daya jualnya. Tetapi, bukan berarti penulisnya
harus melawak sepanjang cerita. Penulis bisa capek melucu, pembaca juga
bisa capek disuruh ketawa terus.
Nah, ramulah kisah dengan humor yang
tepat sasaran dan tepat kesempatan, sehingga pembaca bisa menerimanya
sebagai humor dan mengetahui bahwa inilah saatnya bagi mereka tertawa.
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar