Senin, 28 April 2014

Taman Putroe Phang dan Gunongan; Tempat Bermain si Putri Pahang



           Hari Minggu. Hm ... mau ajak anak-anak jalan-jalan ke mana, ya? Rasanya bosan kalau ke tempat yang itu-itu saja. Akhirnya saya punya ide, "Bagaimana kalau kita pergi ke objek wisata yang bersejarah?" tanya saya pada anak-anak. 
           Ternyata anak-anak tidak begitu bersemangat dan menolak pergi, tapi saya terus menyemangati. Masa, sih, tinggal di Banda Aceh tapi tidak pernah mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang ada di Banda Aceh? Kalau ada turis yang bertanya, bagaimana nanti kami bisa memberikan keterangan yang memadai? Terlebih, anak-anak saya belum terlalu lama tinggal di Banda Aceh karena dulu menetap di luar negeri. Jadi, mereka memang belum banyak mengunjungi tempat-tempat menarik di kota ini.
       Maka, hari itu, saya mengajak suami dan anak-anak berjalan-jalan ke beberapa objek wisata bersejarah di Banda Aceh, termasuk Taman Putroe Phang dan Taman Sari Gunongan. Tak lupa, saya meminta anak-anak membawa alat tulisnya untuk mencatat apa-apa yang menarik di lokasi wisata tersebut.
        “Kita sedang menjadi Dora the explorer!” seru saya bersemangat. Tapi, anak-anak malah memandang saya dengan ekspresi datar. Ah, sudahlah! Let's go!
        Kami pergi dengan menggunakan kendaraan pribadi agar perjalanan menjadi lebih mudah. Taman Putroe Phang terletak di Jalan Nyak Adam Kamil, tidak begitu jauh dari Masjid Raya Baiturrahman—masjid yang menjadi landmark kota Banda Aceh—sehingga tidak sulit menemukan lokasi wisata menarik ini. Selain dengan kendaraan pribadi, tentu saja taman ini bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan umum, orang Banda Aceh biasa menyebutnya “labi-labi”. Dari tempat mangkal labi-labi di daerah Merduati, ongkosnya sekitar Rp3.000,00. Atau, bisa juga dengan menumpang becak motor. Ongkosnya tergantung jarak yang ditempuh, biasanya sekitar Rp3.000,00/km. Ya, setidaknya itu berdasarkan stiker tarif yang sering saya lihat di belakang becak motor. Tapi, sepertinya masih bisa nego, sih!   

Pintu Masuk Taman Putroe Phang

            Menjelang siang dan perut mulai keroncongan, kami tiba di Taman Putroe Phang. Dari luar, taman ini tampak sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat di sekitar lokasi—para satpam dan penjual jajanan. Lho, pengunjungnya cuma kami? Entahlah, mungkin di dalam taman ada pengunjung lain. Setelah memarkir mobil di bawah kerindangan pepohonan besar, kami langsung masuk ke dalam taman. 
Taman Putroe Phang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) pada abad ke-16. Menurut riwayat, taman ini merupakan ungkapan rasa cinta sang Sultan pada istrinya yang berasal dari Kerajaan Pahang, Malaysia. Wow, romantis, ya? Seperti kisah Taj Mahal di India saja!  
Putroe Phang (bahasa Aceh) sendiri jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti “Putri Pahang”. Konon, Putroe Phang sering merasa sedih dan gundah karena rindu pada kampung halamannya di Pahang. Oleh karena itu, untuk menghibur sang Permaisuri, Sultan Iskandar Muda mempersembahkan taman ini agar Putroe Phang dapat bermain dengan dayang-dayang dan melupakan kegundahannya.

Taman Putroe Phang yang cantik.

Begitu kami memasuki taman, tampak bangunan kecil berbentuk seperti kubah berdiri di tengah-tengah taman yang dikelilingi kolam. Rupanya, itu adalah Pintoe Khop. Pintoe Khop yang berukuran 2x3x3 meter ini dulunya merupakan pintu gerbang yang menghubungkan istana dengan Taman Sari Gunongan (dulu bernama Taman Ghairah). Pintoe Khop ini disebut juga Pintu Biram Indrabangsa yang artinya “pintu mutiara keindraan atau raja-raja”. Kini Pintoe Khop terlihat unik, seperti bangunan kecil berwarna putih yang “berdiri sendirian” di dalam taman, ditambah lagi ia telah dipagari demi menjaganya dari tangan-tangan jail. Ungkapan lebih gamblangnya lagi, ya tinggal pintu doang

Pintoe Khop

Pintoe Khop dari dekat
Catatan Sejarah Pintoe Khop

            Saya sengaja menyiapkan bekal makan siang dari rumah agar kami bisa sekalian piknik. Ya, untuk menghemat juga, sih. Kami pun mencari-cari tempat yang paling strategis agar dapat berpiknik dengan nyaman. Tampak tempat duduk bertingkat dari beton berbentuk setengah lingkaran yang di depannya ada semacam selasar yang dilindungi kanopi. Tempat itu biasa digunakan jika ada acara-acara yang berlangsung di Taman Putroe Phang. Tapi, kami tidak ingin duduk di sini, kami mencari tempat duduk yang lebih masuk lagi ke dalam taman agar bisa melihat pemandangan dengan lebih leluasa.

Tempat duduk yang teduh
 
Berpayung kanopi.
            
            Kami lalu melewati sebuah jembatan gantung bercat putih untuk menyeberangi kolam pemandian sang Permaisuri. Jembatan itu tampak kokoh dan cantik, serta tidak terlalu bergoyang saat ditapaki. Anak-anak malah senang mondar-mandir di jembatan ini. Sensasi berjalan sambil digoyang-goyang rupanya sangat menarik buat anak-anak. Kalau saya, sih, pusing!  

Jembatan Gantung

Tak jauh dari ujung jembatan, di bawah tempat duduk berpayung yang terbuat dari besi yang dicat putih, kami pun menikmati santap siang sambil melihat-lihat keindahan taman. Menu nasi putih dengan daging rendang terasa nikmat meskipun tanpa sayur. Saat itu, taman masih sepi. Hanya ada tiga orang remaja yang sedang duduk-duduk santai di bangku taman. Apa karena ini masih siang? Setahu saya, keadaan akan berbeda bila sore hari. Saya sering melihat taman di tengah kota ini penuh dengan keluarga yang membawa anak-anaknya bermain di arena playground yang tersedia, terutama pada hari libur. Fasilitas playground-nya lumayan mengasyikkan buat anak-anak yang berusia di bawah dua belas tahun. Atau, mungkin masih kurang promosi, ya, sehingga wisatawan belum begitu tertarik untuk mendatangi Taman Putroe Phang ini.

Kursi taman

Playground

Usai menghabiskan makanan, saya membiarkan anak-anak bermain sebentar di playground, sementara saya duduk sambil memperhatikan sekitar. Hhh ... sungguh tenang rasanya berada di taman ini. Taman Putroe Phang yang luas tampak asri dengan pepohonan yang tumbuh teratur dan rapi. Imajinasi langsung mengantarkan saya ke zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Seolah-olah saya sedang berada di sini bersama Putroe Phang yang bersenda gurau dengan dayang-dayangnya, mandi bunga di kolam, atau sekadar melepas lelah. Seorang putri cantik menawan berlarian di sebuah taman nan indah ... hm ... sungguh pemandangan yang memesona. Mungkin saat itu taman ini jauh lebih indah dengan berbagai macam bunga yang menghiasinya, yang sayangnya tak lagi saya temukan saat ini. Saya tersenyum membayangkannya. Ah, ngayal! Yang jelas, taman istimewa ini masih memerlukan beragam bunga aneka warna untuk menambah keindahan dan kecantikannya. Kalau yang sekarang saya lihat, di mana-mana hanya didominasi warna hijau. Adem, sih, tapi kurang cetar membahana! 

Pepohonan yang berjajar rapi
Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ceritanya hingga seorang putri dari Kerajaan Pahang, Malaysia, bisa menjadi permaisuri seorang Sultan Aceh? Kenalannya di mana? Aceh dan Malaysia, kan, jauh untuk ukuran transportasi zaman dahulu. Apalagi dulu belum ada media sosial, hehehe.
Ternyata, dulu tentara Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kerajaan Pahang di Semenanjung Utara Melayu. Sebagaimana kerajaan yang kalah perang, maka Kerajaan Pahang harus menyerahkan harta rampasan perang, upeti, dan pajak tahunan kepada Sultan Iskandar Muda. Dan, sebagai tanda takluk, Kerajaan Pahang juga harus merelakan Putri Pahang dibawa oleh Sultan Aceh tersebut.  
Kiranya, Putri Pahang nan cantik jelita dan berbudi bahasa sangat halus itu membuat sang Sultan terpikat. Akhirnya, Sultan pun memperistri Putri Pahang dan menjadikannya sebagai permaisuri. Pada masa itu, pernikahan antara seorang raja dengan putri kerajaan yang ditaklukkannya memang sudah biasa terjadi. Karena, hal itu dapat memperkuat kedudukan kerajaan yang menang, selain untuk mempererat persaudaraan.
Terletak di Negeri Syariat, Taman Putroe Phang juga dilengkapi dengan musala kecil, beserta toilet di dekatnya untuk memudahkan pengunjung mengambil air wudu. Taman ini terlihat sangat bersih, tampak banyak sekali tempat sampah yang tersebar di sana. Bahkan tong sampahnya dipisah antara untuk sampah basah dan untuk sampah kering. Wah, komplet, deh! Semakin betah berlama-lama bersantai di sini.

Musala

Toilet

Setelah anak-anak puas bermain, saya mengajak mereka ke Taman Sari Gunongan (dulu bernama Taman Ghairah) yang letaknya bersebelahan dengan Taman Putroe Phang. Asyik juga, nih, lokasi wisatanya berdekatan, jadi tidak terlalu capek mencapainya. Malah, di depan Taman Sari Gunongan juga ada objek wisata Kherkoff, makam tentara-tentara Belanda yang wafat dalam pertempuran di Aceh dulu.

Papan Petunjuk Taman Sari Gunongan

Ketika kami masuk ke lokasi Gunongan, suasana juga tampak sepi. Cuma ada tiga orang remaja putri yang terlihat sedang asyik berfoto-foto. Hei, ke mana orang-orang lainnya? Sepi-sepi saja! Padahal, bangunan Gunongan ini tampak cantik dan menyimpan sejarah yang menarik, lho. Ternyata, program Visit Aceh 2013 yang lalu masih belum bergigi untuk mendongkrak minat wisatawan berkunjung ke sini, ya. Woro-woro-nya harus digencarkan lagi, dong!
Rupanya Gunongan dulu merupakan bagian dari Taman Putroe Phang, tetapi sekarang sudah terpisah oleh jalan raya sehingga tampak seperti dua objek wisata yang berbeda. Oh ... pantaslah! Dengar-dengar, dulu ada lorong di bawah tanah bangunan Gunongan yang menuju ke Pintoe Khop, tetapi kini sudah ditimbun seiring dengan pembangunan daerah ini.

Gunongan
   
Gunongan berarti “gunung kecil” dan merupakan miniatur perbukitan yang mengelilingi kerajaan Putroe Phang di Pahang. Sengaja dibangun sedemikian rupa agar Putroe Phang tidak selalu bersedih karena teringat Kerajaan Pahang. Jadi, seolah-olah Putroe Phang sedang berada di negerinya sendiri, begitu. 
Gunongan berbentuk persegi enam seperti bunga dan puncaknya dibentuk seperti mahkota. Di salah satu sisi Gunongan ini, ada sebuah pintu kecil yang ditutup semacam pintu pagar yang terbuat dari besi dan dicat warna perak. Sayang sekali, pintu itu digembok, sehingga saya tidak bisa masuk. Namun, saya sempat mengintip ke dalamnya. Ternyata itu sebuah lorong! Menurut keterangan yang saya baca di sana, di dalam lorong pintu tersebut, ada sebuah tangga untuk naik ke tingkat tiga bangunan Gunongan. Yah ... nggak bisa naik, deh!

Pintu masuk ke dalam Gunongan
 
Ini lorongnya.
Hari-hari sang Permaisuri banyak dihabiskan di sekitar Gunongan. Bersama dayang-dayangnya, dia senang memanjati bangunan Gunongan ini. Saya juga sempat melihat sebuah foto yang mengabadikan beberapa tentara KNIL (tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang duduk di atas Gunongan pada tahun 1874. Ternyata, sejak dahulu, Gunongan telah menjadi objek yang menarik dan cocok menjadi tempat untuk berfoto, ya! 

Foto tentara KNIL sedang duduk di atas Gunongan

Selain sebagai tempat bercengkerama, Gunongan juga dijadikan sebagai tempat Putroe Phang berganti pakaian dan mengeringkan rambut usai berenang di kolam pemandian. Di dekatnya ada sebuah bangunan kecil dan pendek berukir. Ada lubang di bagian atasnya. Bentuknya mirip lesung tempat menumbuk padi dan ada undakan untuk naik ke atas. Tadinya saya pikir itu apa ... kok aneh? Ternyata itu adalah Leusong, bagian dari Gunongan juga. Saat saya lihat, Leusong itu berisi air. Mungkin itu air hujan yang tertampung.

Leusong

Di samping Gunongan, ada sebuah bangunan yang dinamakan Kandang. Bentuknya persegi empat. Ada sebuah pintu masuk seperti pintu pagar besi yang lebih besar daripada pintu masuk ke Gunongan. Namun, lagi-lagi karena dikunci, saya hanya bisa melihat dari luar. Bagian dalam Kandang terlihat seperti taman berumput. Aduh, ini kenapa pada dikunci semua? Padahal saya, kan, turis juga ... walaupun domestik.

Kandang di sebelah Gunongan

Dulu, Kandang merupakan tempat jamuan makan Sultan Iskandar Muda dan Putroe Phang bersama orang-orang istana, juga rakyat. Katanya, sih, dulu Kandang ini ada atapnya. Berarti, Sultan Iskandar Muda itu rendah hati sekali, ya, sampai-sampai beliau berkenan menjamu rakyatnya di Taman Ghairah ini? Mengagumkan! Raja yang sangat merakyat. Patut dicontoh oleh para pemimpin di negeri ini, khususnya di Aceh.
Beberapa waktu kemudian, Kandang dijadikan sebagai makam Sultan Iskandar Thani, menantu Sultan Iskandar Muda, yang memerintah tahun 1636-1642. Sultan Iskandar Thani ini merupakan anak Sultan Pahang, Malaysia, dan Sultanah Safiatuddin Tajul Alam. 

Pintu masuk ke Kandang

Menelusuri sejarah Taman Putroe Phang dan Taman Sari Gunongan sungguh menyenangkan. Kisah sebuah kerajaan dengan seorang permaisuri cantik dan raja tampan memang selalu memiliki daya tarik bagi siapa saja. Bak cerita dalam dongeng, tapi romantisme Sultan Iskandar Muda dengan Putroe Phang ini kisah nyata. Sejarah, lho! Anak-anak saya yang tadinya tidak begitu berminat mengunjungi objek wisata ini, belakangan malah meminta saya untuk lebih lama lagi berada di tempat ini. Mereka sibuk membaca keterangan-keterangan tentang Gunongan yang terdapat di sana sambil mencatat apa-apa yang menarik.
"Sebentar, Ma! Saya belum siap mencatat!" seru anak sulung saya ketika diajak pulang.

Catatan Sejarah Gunongan

Yang saya sayangkan, pintu masuk ke bangunan Gunongan dan Kandang terkunci, sehingga wisata kami ke sini menjadi tak lengkap dan tak tuntas. Alangkah baiknya jika tempat wisata ini selalu dalam keadaan “siap dikunjungi” selama waktu kunjungan agar pengunjung yang sudah jauh-jauh datang ke sini tidak kecewa. Kalau saya, yang memang tinggal di Banda Aceh, masih bisalah di lain kesempatan berkunjung lagi sampai berkali-kali demi memuaskan keingintahuan saya tentang apa yang ada di balik pintu-pintu yang terkunci itu. Tapi, kalau turis asing atau turis dari luar daerah? Belum tentu mereka punya kesempatan datang ke sini lagi. Sayang, kan?  
Setelah anak-anak puas, kami pun meninggalkan Taman Sari Gunongan. Saya tersenyum penuh kemenangan ketika anak sulung saya yang tadinya ogah-ogahan pergi ke sini berkata, “Ternyata, sejarah Aceh itu menarik sekali, ya, Ma. Saya kira cuma begitu-begitu saja.”
Memanglah, Nak, tak kenal maka tak sayang. Kenali tanah kelahiranmu agar cinta pada negeri ini bertumbuh di hatimu ....[]

30 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. nyaris lengkap penjelasannya kak. bagus sekali (y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan lupa salat Tahajud agar kk menang, ya ... #eh?

      Hapus
  3. Saingan berat niih, peneulis terkenaaal ikutan lomba jugaak. Hhiii
    Tlisankk detail. Kak Beby mampir jg ke tulisan lomba Isni yaa... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. eh, tapi kk bukan blogger terkenal macam Isni. Nembus Kompas pulak tuu. Aiiih, rivaaaal :p

      Hapus
  4. wih lengkap ulasannya. sukses ya kak :)
    mampir juga kemari http://mhdharis.wordpress.com/2014/04/27/banda-aceh-punya-situs-objek-wisata-tsunami-yang-wajib-dikunjungi/

    BalasHapus
  5. love this kak :D foto2nya keren x.. & tulisannya amat menginspirasi.. salam kenal kak :D

    BalasHapus
  6. cantiknya. Antar ya kalo ke Aceh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. sip siiip, bhai. tinggal kabari aja kalo dateng ya.

      Hapus
  7. Waaah... jadi pengin ke Aceh nih kak Beby.... lengkap sekali... Doaakan keluargaku bisa main ke sana ya. ^_^ *berasa udah di sana baca artikel ini*

    BalasHapus
    Balasan
    1. amiiin. yuk ah Nelfi. harus sampe ke ujung Indonesia dooong :))

      Hapus
  8. aa, enak kali bacanya. temponya, bahasanya juga mudah dicerna. azhar suka juga sama pilihan warna-warni dalam template ini, font dan pilihan warna tulisannya.

    #pengunjung jadi betah lama-lama di sini :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah. Azhar, kk emang suka warna2 gelap kek gini, kesannya kontras gitu. Txs ya udah mampir dek.

      Hapus
  9. waaah, bagus ternyata, aku yang lahir dan besar disana belom pernah menginjakkan kaki, cuma lewat-2 aja kalo mau ke setui, he..he..mau lah mudik nanti mampir kesana, thanks gambaranya ya kak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. yaelah zitaaa. cemmanaaa? bawa anak2 main di playgroundnya. rame di situ kalo sore

      Hapus
  10. Mantap kali ni kak, jadi saingan berat ni. wkwkwk :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iiii ngerilah kk sama blogger2 aceh yg keren kayak Ubai. Kk kan jarang ngeblog, bisa setahun gak update2 wkwkwk. penulis buku anak kan beda sama blogger. :p

      Hapus
  11. KAmi jugak ikot kak. doain yaa. tapi kami dukong kak beb menang heheh

    BalasHapus
  12. Waktu ke Banda Aceh tahun 2010 sempat mau ke taman ini, sayang waktu yang sempit batal ke taman ini.
    Suatu saat harus mampir ke taman ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, Indah. kalo ke aceh lagi kabarin ya, ntar ketemuan kayak aku sama mb wiek kemaren

      Hapus
  13. Kemarin pas ke Aceh sempat melewati taman ini, tapi karena jadwal harus ke Sabang, jadi sekadar lewat aja. Next ah. :)

    BalasHapus
  14. waktu kami ke gunongan dulu, kami diberitahu bahwa bangunan ini terbuat dari campuran putih telur sebagai perekat. Meskipun terkena sinar matahari namun bila dipegang tetap dingin. andai rumah kita terbuat dari bahan yang sama , tentu tidak panas sewaktu musim kemarau sekarang ini. Ceritanya memikat hati untuk berkunjung ke lokasi ini.

    BalasHapus
  15. terus berkarya dan jangan lupa singgah ke tempat kami juga tidak kalah menariknya: http://informasi-syarif.blogspot.com/2014/03/hutan-kota-icon-paru-paru-serambi-mekkah.html

    BalasHapus
  16. saya juga punya tulisannya :

    http://musikanegri.blogspot.com/2014/04/gunongan-bukti-cinta-sultan-kharismatik.html

    BalasHapus
  17. salam perkenalan dari malaysia. Artikel yang sangat berguna. izinkan saya mengambil sedikit maklumat dari blog puan untuk research saya. terima kasih :)

    BalasHapus
  18. bagus banget tulisannya mbak...saya yang berkunjung ke taman putroe phang dan gunongan, setelah membaca tulisan mbak baru keluar ide menulis lagi..hahhhaaha...salam kenal mbak dari batam.. :)

    BalasHapus
  19. kereenn banget tulisannya,, pengen berkunjunh ahh ke taman putroe phang..

    BalasHapus