Alkisah di tahun 90-an ....
"Motor sewa", itulah sebutan untuk mobil angkutan umum di kampung saya, Rantau, Aceh Tamiang. Bentuknya ada yang model kursi penumpangnya harus adu lutut, ada pula yang model terjepit lutut. Tapi, yang jelas, kondisi kendaraannya tidak memenuhi syarat kepatutan alat transportasi massa, dengan kata lain, barang rongsokan yang masih bisa jalan. Meskipun demikian, motor sewa ini selalu dinanti-nanti kehadirannya. Ya, bagaimana tidak? Jumlahnya sangat sedikit dibanding dengan orang yang menggunakan jasanya.
"Motor sewa", itulah sebutan untuk mobil angkutan umum di kampung saya, Rantau, Aceh Tamiang. Bentuknya ada yang model kursi penumpangnya harus adu lutut, ada pula yang model terjepit lutut. Tapi, yang jelas, kondisi kendaraannya tidak memenuhi syarat kepatutan alat transportasi massa, dengan kata lain, barang rongsokan yang masih bisa jalan. Meskipun demikian, motor sewa ini selalu dinanti-nanti kehadirannya. Ya, bagaimana tidak? Jumlahnya sangat sedikit dibanding dengan orang yang menggunakan jasanya.
Sewaktu masih berstatus pelajar SMA, saya kerap menggunakan motor sewa
ini untuk berangkat ke sekolah. Alhamdulillah, sampai lulus SMA, saya
masih sehat walafiat walaupun sempat beberapa kali mengalami insiden
yang membuat saya sport jantung pagi-pagi.
Insiden pertama terjadi saat saya naik motor sewa model kursi adu
lutut. Awalnya perjalanan berlangsung biasa-biasa saja. Tetapi, begitu
motor sewa melaju kencang menuruni daerah perbukitan, tiba-tiba mobil
oleng ... lalu, oleng sekali ... meliuk-liuk ... ngepot ke tengah jalan
... huwaaa! Saya dan beberapa penumpang di dalamnya belingsatan
terobok-obok. Tiba-tiba, saya melihat sesuatu menggelinding ke seberang
jalan. Sebuah ban. Ya ampun! Ternyata, salah satu ban motor sewa yang
saya tumpangi itu lepas! Beberapa detik kemudian, motor sewa pun
berhenti dengan sukses di seberang jalan setelah lajunya tertahan oleh
semak-semak. Fiuuuh ... ngos-ngosan saya!
Insiden kedua lain lagi, yaitu terjadi ketika saya naik motor sewa
model kejepit lutut. Tempat kejadiannya juga sama persis seperti insiden
pertama. Pagi itu, saya bersama dua orang teman saya, Wati dan Agus,
duduk di bangku paling depan, di samping sopir. Mengingat bangku depan
hanya cocok menampung dua orang penumpang, sudah pastilah kami
terjepit-jepit. Agus duduk paling pinggir, dekat pintu, yang untuk
menguncinya harus memakai gerendel pintu layaknya pintu pagar.
Sedang
santai-santainya perjalanan menuruni bukit, lagi-lagi motor sewa
berulah. Mendadak, pintu di samping Agus terbuka! Agus pun berteriak.
Karena bangkunya memang sempit dan pintu itu merupakan penahan agar
kami tak tumpah-ruah ke jalan, otomatis Agus melesak ke luar. Untunglah
Agus sangat sigap. Begitu tubuhnya terdorong ke luar mobil, dia refleks
memegang erat rangka jendela mobil. Alhasil, Agus tergantung-gantung di
pintu mobil dengan tangan memeluk jendela. Saya dan Wati berusaha
menariknya, namun tidak berhasil. Anehnya, sopir motor sewa seperti
tidak ngeh dengan apa yang terjadi. Dia terus saja menyetir. Dia baru
tersentak begitu saya berteriak-teriak minta berhenti.
Akhirnya, sopir meminggirkan motor sewanya. Agus pun selamat meskipun
dengan tangan memerah dan wajah pucat pasi, sementara si Sopir cuma
bengong. Ih, memang telat mikir, deh! Saya dan Wati kesal bukan main.
Begitulah keadaan transportasi umum di kampung saya. Bikin deg-degan.
Terakhir saya pulang ke kampung, saya melihat keadaan motor sewa sudah
lebih baik, yang didominasi mobil semacam L-300. Namun, penumpangnya
tetap membeludak, bahkan banyak yang duduk di atap mobil ataupun
bergelantungan di pintu. Asap knalpotnya? Jangan ditanya. Hitam dan
mengepul setiap saat, meninggalkan polusi tingkat tinggi di sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar